Minggu, 22 Maret 2020

Cerpen, Puisi & Pengetahuan


PENYESALAN DAN CINTA

            Matahari tampak bersinar terang. Hawa panas begitu terasa. Para pedagang kaki lima tak henti-hentinya memulas kening bahkan seluruh wajahnya karena basah oleh keringat. Orang-orang yang mondar-mandir di pinggir jalan sesekali memperhatikan orang-orang disampingnya. Seorang bocah perempuan menggunyah permen karet lalu membuangnya di tengah jalan. Sang ibu yang melihatnya segera berhenti dan menasehatinya untuk tidak melakukan hal buruk itu lagi di manapun. Sang anak hanya menatap ibunya dengan wajah penuh peneyesalan. Sang ibu pun tak tega melihat gadis kecilnya yang memperlihatkan wajah layu seperti ingin menangis. Lalu wanita dengan kerudungnya yang coklat segera mengendong anaknya dan tersenyum. Ia mengatakan “Ibu tidak marah sayang.” Sang anak memeluk ibunya karena merasa tenang.
            Drugggghhhh suara hantaman terdengar tiba-tiba. Suara itu menghentikan orang-orang yang memenuhi pinggir jalan lalu segera  mengerumuni untuk melihat kejadian. Wanita dengan gadis kecilnya tadi terkejut.” Ibu suara apa itu?”. Sang ibupun memulas lembut pipi putrinya dan mengatakan “Tidak ada apa-apa”. Terbenak di hatinya untuk melihat kejadian itu. Barangkali seseorang yang tertabrak tersebut adalah orang yang dikenal pikirnya. Tapi, melihat putrinya yang masih kecil, ia merasa harus mengurungkan niatnya. Tidak baik rasanya memperlihatkan kejadian buruk kepada anak dibawah umur. Tapi, entah kenapa hatinya memaksa untuk melihat. Ia pun berpikir untuk menitipkan gadis kecilnya sebentar pada Ibu Maimunah warung kelontong langganannya. Ia menuju warung itu dengan sedikit cepat sambil mengendong putrinya dengan menghabiskan waktu perjalanan 15 menit.
            “Ibu tolong jaga Santi ya.” Pintanya dengan nafas tersengal. Ibu Maimunah melihat wanita itu dan anaknya dengan heran.
            “Oh iya boleh buk. Memang ada apa?” Tanya bu Maimunah.
            “Ada keperluan sebentar.”
            “Oh begitu, boleh buk Mira. Ayo sini sama wawak.” Kata buk Maimunah sambil membuka kedua tangannya seperti ingin memeluk Santi. Santi melepaskan kain baju ibunya yang sepanjang jalan terus digenggamnya. Santi dengan suka rela ditinggalkan ibunya. Ia sudah menganggap bu Maimunah seperti temannya.
            Mira terlihat berjalan dengan tergesa-gesa. Kadang-kadang muncul dipikirannya untuk apa melihat tabrakan itu. Inikan hal biasa dan sering terjadi. Tapi, Mira adalah orang yang paling tidak bisa memendam rasa penasarannya. Inikan hanya sebentar saja pikirnya.
            Mira sedikit lagi tiba di lokasi. Orang-orang masih berkerumunan melingkari lokasi kejadian. Mira sedikit sulit memasuki kerumunan itu. Sepertinya kejadian ini sangat parah ucap dalam hatinya. Asap hitam masih mengepul di udara. Suara klskson para pengendara terdengar berisik ditambah lagi suara orang-orang yang saling membicarakan tabrakan itu. Akhirnya Mira berhasil melewati kerumunan. Ia sampai dan masih mencari-cari korban tabrakan tersebut. Tiba-tiba darahnya terasa dingin, jantungnya berdetak kencang, dan matanya membesar. Ia menganga, lalu menutup mulutnya melalui tangan kananya.
            “Ya Allah.... benarkah ini.” Ucapnya tidak percaya sambil menggelengkan kepala.
***
            Meja makan terlihat lezat dengan hidangan beraneka ragam masakan. Sebuah rumah menampakkan orang-orang yang terlihat sibuk menyiapkan sebuah acara besar. Ada yang memasang tenda, panggung haiburan, dan pelaminan besar nan mewah. Rumah itu menampilkan hiasan-hiasaan indah dengan tangga yang panjang melingkar. Gagangnya terbuat dari kayu berwarna coklat berukiran bunga. Seorang wanita turun dengan anggun mengenakan pakaian pengantin menuju para tamu. Orang-orang itu tak lain adalah keluarga Mira dan calon suaminya yang menampakkan wajah ceria dan bahagia. Mira tersenyum simpul sambil memegang bunga. Ia didampingi oleh kakaknya menuju penghulu untuk segera mengikrarkan pernikahan. Setelah menuruni anak tangga, kakaknya melepaskan rangkulan dan diganti oleh Sara sahabat masa kecilnya.
            “Aku malu Sara.” Ucap Mira sambil memegang erat tangan sahabatnya.
            “Ahh kamu itu kenapa sih. Masa malu, macam kenal Randi dari perjodohan orangtuamu saja. Kaliankan sudah sembilan tahun menjalin cinta.” Sara terkekeh kecil menertawakan sahabatnya.
            “Ih bukan itu. Inikan hari yang dek..dekan lo.” Bisiknya lagi.
            “Udah.. kita mau sampai ni. Tenang ya.”
            “Bismillah.” Mira berucap sambil mengelus dadanya.
            Di depan seorang pria mengenakan jas hitam bersama kopiahnya. Pria itu terlihat gagah dan tampan. Lesung pipinya memancarkan keceriaan pada sang pujaan Mira. Pria itu memberikan tangganya untuk mengajak Mira duduk disampingnya. Mira tersipu malu. Randi masih menatapnya yang tak jemu-jemu oleh kejelitaan Mira yang memukau di hari istimewa mereka.
            “Apakah semuanya siap.” Tanya penghulu.
            “Siaaaapp.” Ucap para tamu.
            “Bagaimana dengan kamu Randi?”
            “Bismillah pak. Saya siap.” Ucapnya tegas namun bernada pelan sambil tersenyum.
            Pak penghulu memegang tangan Randi dan menuntunnya untuk mengucapkan janji suci dihadapan khalayak. Mira dan Randipun telah sah menjadi suami istri. Mereka terlihat saling bertatap dan Randi mencium keningnya yang halus. “Aku bahagia.” Bisik Mira. “Aku lebih bahagia istriku.” Mira tertawa kecil dan melirik Sara yang dari kejauhan memperhatikan keduanya.
            Pernikahan itu berlangsung meriah. Tak sedikitpun tampak wajah-wajah lelah. Mereka berbahagia atas pernikahan sepasang pengantin yang telah menjalin cinta selama bertahun-tahun. Mira dan Randi memiliki pemikiran yang sama, kesukaan yang hampir seluruhnya sama, dan terpenting adalah cinta yang akan selalu terjaga selamanya. Sara sahabatnya tak luput dari suksesnya pesta itu. Ia selalu merencanakan yang terbaik bagi Mira dan Randi. Kisah cinta itu awalnya tak direstui pihak wanita. Lantaran Randi yang belum berkecukupan dan belum bekerja. Tapi Randi tak menyerah mempertahakan hubungan yang dibina sejak mereka SMA. Mira sebagai sarjana bisnis Inggris, memiliki beragam ide membangun perusahaan yang telah dipercayakannya. Randi yang juga sejurusan dengannya di Indonesia  turut membantu, sehingga mereka berhasil menggapai hasil yang maksimal.
            Tiga tahun setelah pernikahan, Mira melahirkan Santi. Seharusnya Mira sudah memiliki anak setahun yang lalu. Tapi ia keguguran karena terjatuh dari lantai tempatnya bekerja. Namun, Mira tidak putus asa dan berusaha untuk membahagiakan suaminya. Ia berhasil menghadirkan buah hati. Randi sangat senang dengan hadiah dari istrinya itu. Tapi, tidak lima tahun kemudian.
            “Apa yang terjadi dengan Randy dokter?” Tanya Mira dengan nada lemah. Wajahnya suram dan terlihat sangat tidak bersemangat. Ruangan ICU sangat sepi hanya seorang perawat sedang mencatat identitas korban satunya lagi.
            “Apakah ia suami ibu?”
            Mira diam dan menatap sebentar sang dokter.
            “Apakah ibu baik-baik saja?”
            “Saya baik dokter. Saya tidak apa-apa.” Iapun membuka suara dengan tegar dan kuat.
            “Baiklah, Sara hanya sedikit luka di kepalanya. Tapi Randi mengalami cidera parah di beberapa anggota tubuhnya. Kemungkinan ada beberapa hal buruk yang akan membuat ibu lebih tegar mengahadapinya. Ibu yang sabar. Semuanya ada hikmah” Dokter seperti sudah paham dengan situasi yang terjadi. Dokter hanya berbicara pada topik permasalahan. Dokter merasa bahwa harus mengatakan secara langsung. Hal ini juga dapat memudahkan segala masalah.
            Mira terus menunduk dan menatap kosong ke lantai rumah sakit. Ia pun menangis. Ia sama sekali tak menyangka atas kejadian pelik ini. Ia tak mau bertanya lagi, yang ada hanya memerihkan hati. Menambah luka yang semakin dalam. Lebih baik ia mendengar daripada berbicara. Dokter itu pergi meninggalkan Mira sendiri. Suasana benar-benar lenggang. Ia terkulai lemas dan tidak berdaya. Di kejauhan seorang gadis kecil berlari-lari menemuinya dan memeluknya dengan sigap.
            “Ibu kenapa menangis?”
            “Tidak sayang. Ibu hanya kelilipan.” Ucapnya lirih.
            Mira melepas genggaman putrinya dan memulas pipinya. Ia menuju ruangan suaminya di rawat. Menatap suaminya dan seseorang di sampingnya dengan balutan perban berwarna putih yang sebagiannya di banjiri darah. Mira merasa tak sanggup melihat apa yang terjadi. Ia tertekan serasa ingin mati. Dadanya sesak. Tapi lagi-lagi Santi membuatnya ingin hidup sampai gadis kecilnya itu dewasa nanti. Ia serba salah dan akhirnya ia berdoa meminta petunjuk.
***
            Lima bulan yang lalu.
            “Apa yang kamu lakukan Mira.” Randi meninggikan suaranya.
            “Aku hanya ingin kamu dan Santi ada yang menjaga.” Mira mencoba menenangkan suaminya yang mulai emosi.
            “Ini bukan jalan keluar.” Ucap Randi dan memegang bahu Mira.
            “Ini cara yang tepat bagiku Randi.” Mira bersuara rendah.
            “Hentikan omong kosong ini Mira. Kamu tetap istriku. Apapun yang kamu alami kamu tetap wanita yang aku cintai.” Randi memegang kedua pipi Mira dan melekatkan dahinya ke dahi Mira. Randi menangis keras. Ia tidak mau berpisah dengan Mira.
            “Aku mohon. Demi aku dan Santi Randi.” Ucap Mira sambil mengenggam tangan suaminya itu.
            Randi menatap kecewa dengan Mira. Rasanya ia ingin membenci semua takdir yang terjadi. Tapi, apa boleh buat. Ini semua bukan kehendak mereka. Mau tidak mau Randi harus menjalani pernikahan kedua kalinya. Mira sangat sulit untuk diajak mengerti tentang hati Randi. Tapi Randi sadar atas pengorbanan sang istri. Mira sengaja memilih di madu karena penyakit kistanya. Ia memilih Sara sebagai sahabat terbaiknya. Sara juga beberapa kali menolak tak ingin menghancurkan rumah tangga Mira.
            “Ini bukan kamu yang mau Sara. Aku yang memintamu, aku mohon kali padamu.”
            Sara terdiam. Perlahan-lahan ia meneteskan air mata. Tanpa berkata apapun, bahkan tanpa melihat Mira pun, Mira langsung memutuskan bahwa Sara menerima permintaannya.
            “Randi, kamu benar maukan menerima permintaan terakhirku?”
            Randy masih menunduk.
            “Randy.” Pria itupun menatap tegas pada Mira. Wajahnya menonjolkan kemarahan yang besar namun matanya memperlihatkan rasa sayang dan cinta yang tak terbendung lagi oleh air mata.
            “Baik Mira. Tapi izinkan aku mempersiapkan diriku benar-benar dalam lima bulan ini. Aku ngak bisa melangsungkan pernikahan begitu saja.”
            “Baik. aku terima.” Terdengar suara petir menyambar. Hujan turun deras. Menunjukkan kedua pasangan itu dari kaca jendela yang diuapkan udara hujan.
***
            Mira menatap taman rumah sakit. Terduduk di kursi panjang dekat sebuah pohon yang lebat daunnya. Ia merenung seperti merasa menyesal telah memaksa Randi dan Sara melakukan kemauannya. Mira berharap dengan kepergiannya ke Inggris, untuk melakukan terapi akan membuatnya sembuh dan kembali memulihkan rumah tangganya. Seandainya Mira tak berputus asa untuk hidup sebelum kejadian itu, dan mencari tahu pada kerabatnya di Inggris untuk penyembuhan, pastilah hal buruk itu takkan terjadi. Dan benar saja, harapannya untuk hidup terwujud. Setelah hamir setahun Mira menjalani pengobatan yang ditemani Ibunya dan Sara. Namun, Randi harus menghabiskan waktunya bertahun-tahun di kursi roda karena lumpuh. Cinta sejati tidak pernah mengkhianati hati mereka. Saling menerima dan belajar dari masa lalu. Mira dengan suka cita dan tulus merawat Randi. Sara telah di karuniakan satu orang anak dari pernikahannya dengan adik ipar Mira yaitu Ruslan.  Dokter itu benar. Segala ketetapan Tuhan menghasilkan nilai dan hikmah. Alhasil, semuanya berakhir utuh dan lebih indah.
            SAAT KEJADIAN KECELAKAAN
            Saat itu, Randi merasa berat beban yang ia dapatkan. Pekerjaan sudah tidak lagi terbenak dan dipikirkan. Hidupnya hampa tanpa Mira. Dan Sara juga tak ingin menyakiti suami sahabatnya itu. Saat mereka mencari Mira yang belum pulang selama dua minggu. Randi tidak sadar bahwa mobilnya sedang kondisi rusak. Ia tidak tahan dengan wajah Mira yang menghantui pikirannya. Hingga hari itu, sebuah sepeeda motor menyebrang. Randi tidak memperhatikan dan kecelakaan itu terjadi.
           
  

Sepenggal Puisi
UDARA KEMATIAN

Aroma menghembus
Membawa pesan
Bukan sembarang kata
Punya tujuan yang tertanam dalam

Suara seluit terdengar runcing
Menyatu hitam ditindih merah berdarah
Masa sudah semakin menengah
Menandakan akan dipanggil sesaat lagi

Seseorang terlihat gontai berjalan
Menyebarkan aroma tapi mengasingkan badan
Ia berpakaian pucat
Rambut-rambutnya mengacak sinar rembulan
Mencari sehelai harapan
Ingin menyentuh dan membawanya
Hati telah remuk terhantam badai
Sesal dan pukulan tak cukup mengalihkan

Mungkin aroma maut adalah akhir
Sebuah rindu yang dibalik kebenarannya adalah maaf
Mata-mata telah siap menikam nyawanya
Mungkin bukan hanya dirinya
Dan menjadi perbincangan para udara kematian