PENYESALAN
DAN CINTA
Matahari tampak bersinar terang. Hawa panas begitu terasa.
Para pedagang kaki lima tak henti-hentinya memulas kening bahkan seluruh
wajahnya karena basah oleh keringat. Orang-orang yang mondar-mandir di pinggir
jalan sesekali memperhatikan orang-orang disampingnya. Seorang bocah perempuan
menggunyah permen karet lalu membuangnya di tengah jalan. Sang ibu yang
melihatnya segera berhenti dan menasehatinya untuk tidak melakukan hal buruk
itu lagi di manapun. Sang anak hanya menatap ibunya dengan wajah penuh
peneyesalan. Sang ibu pun tak tega melihat gadis kecilnya yang memperlihatkan
wajah layu seperti ingin menangis. Lalu wanita dengan kerudungnya yang coklat
segera mengendong anaknya dan tersenyum. Ia mengatakan “Ibu tidak marah sayang.”
Sang anak memeluk ibunya karena merasa tenang.
Drugggghhhh suara hantaman terdengar tiba-tiba. Suara itu
menghentikan orang-orang yang memenuhi pinggir jalan lalu segera mengerumuni untuk melihat kejadian. Wanita
dengan gadis kecilnya tadi terkejut.” Ibu suara apa itu?”. Sang ibupun memulas
lembut pipi putrinya dan mengatakan “Tidak ada apa-apa”. Terbenak di hatinya
untuk melihat kejadian itu. Barangkali seseorang yang tertabrak tersebut adalah
orang yang dikenal pikirnya. Tapi, melihat putrinya yang masih kecil, ia merasa
harus mengurungkan niatnya. Tidak baik rasanya memperlihatkan kejadian buruk
kepada anak dibawah umur. Tapi, entah kenapa hatinya memaksa untuk melihat. Ia
pun berpikir untuk menitipkan gadis kecilnya sebentar pada Ibu Maimunah warung
kelontong langganannya. Ia menuju warung itu dengan sedikit cepat sambil
mengendong putrinya dengan menghabiskan waktu perjalanan 15 menit.
“Ibu tolong jaga Santi ya.” Pintanya dengan nafas
tersengal. Ibu Maimunah melihat wanita itu dan anaknya dengan heran.
“Oh iya boleh buk. Memang ada apa?” Tanya bu Maimunah.
“Ada keperluan sebentar.”
“Oh begitu, boleh buk Mira. Ayo sini sama wawak.” Kata
buk Maimunah sambil membuka kedua tangannya seperti ingin memeluk Santi. Santi melepaskan
kain baju ibunya yang sepanjang jalan terus digenggamnya. Santi dengan suka
rela ditinggalkan ibunya. Ia sudah menganggap bu Maimunah seperti temannya.
Mira terlihat berjalan dengan tergesa-gesa. Kadang-kadang
muncul dipikirannya untuk apa melihat tabrakan itu. Inikan hal biasa dan sering
terjadi. Tapi, Mira adalah orang yang paling tidak bisa memendam rasa
penasarannya. Inikan hanya sebentar saja pikirnya.
Mira sedikit lagi tiba di lokasi. Orang-orang masih
berkerumunan melingkari lokasi kejadian. Mira sedikit sulit memasuki kerumunan
itu. Sepertinya kejadian ini sangat parah ucap dalam hatinya. Asap hitam masih
mengepul di udara. Suara klskson para pengendara terdengar berisik ditambah
lagi suara orang-orang yang saling membicarakan tabrakan itu. Akhirnya Mira
berhasil melewati kerumunan. Ia sampai dan masih mencari-cari korban tabrakan
tersebut. Tiba-tiba darahnya terasa dingin, jantungnya berdetak kencang, dan
matanya membesar. Ia menganga, lalu menutup mulutnya melalui tangan kananya.
“Ya Allah.... benarkah ini.” Ucapnya tidak percaya sambil
menggelengkan kepala.
***
Meja makan terlihat lezat dengan hidangan beraneka ragam
masakan. Sebuah rumah menampakkan orang-orang yang terlihat sibuk menyiapkan
sebuah acara besar. Ada yang memasang tenda, panggung haiburan, dan pelaminan
besar nan mewah. Rumah itu menampilkan hiasan-hiasaan indah dengan tangga yang
panjang melingkar. Gagangnya terbuat dari kayu berwarna coklat berukiran bunga.
Seorang wanita turun dengan anggun mengenakan pakaian pengantin menuju para
tamu. Orang-orang itu tak lain adalah keluarga Mira dan calon suaminya yang
menampakkan wajah ceria dan bahagia. Mira tersenyum simpul sambil memegang
bunga. Ia didampingi oleh kakaknya menuju penghulu untuk segera mengikrarkan
pernikahan. Setelah menuruni anak tangga, kakaknya melepaskan rangkulan dan
diganti oleh Sara sahabat masa kecilnya.
“Aku malu Sara.” Ucap Mira sambil memegang erat tangan
sahabatnya.
“Ahh kamu itu kenapa sih. Masa malu, macam kenal Randi
dari perjodohan orangtuamu saja. Kaliankan sudah sembilan tahun menjalin
cinta.” Sara terkekeh kecil menertawakan sahabatnya.
“Ih bukan itu. Inikan hari yang dek..dekan lo.” Bisiknya
lagi.
“Udah.. kita mau sampai ni. Tenang ya.”
“Bismillah.” Mira berucap sambil mengelus dadanya.
Di depan seorang pria mengenakan jas hitam bersama
kopiahnya. Pria itu terlihat gagah dan tampan. Lesung pipinya memancarkan
keceriaan pada sang pujaan Mira. Pria itu memberikan tangganya untuk mengajak Mira
duduk disampingnya. Mira tersipu malu. Randi masih menatapnya yang tak jemu-jemu
oleh kejelitaan Mira yang memukau di hari istimewa mereka.
“Apakah semuanya siap.” Tanya penghulu.
“Siaaaapp.” Ucap para tamu.
“Bagaimana dengan kamu Randi?”
“Bismillah pak. Saya siap.” Ucapnya tegas namun bernada
pelan sambil tersenyum.
Pak penghulu memegang tangan Randi dan menuntunnya untuk
mengucapkan janji suci dihadapan khalayak. Mira dan Randipun telah sah menjadi
suami istri. Mereka terlihat saling bertatap dan Randi mencium keningnya yang
halus. “Aku bahagia.” Bisik Mira. “Aku lebih bahagia istriku.” Mira tertawa
kecil dan melirik Sara yang dari kejauhan memperhatikan keduanya.
Pernikahan itu berlangsung meriah. Tak sedikitpun tampak
wajah-wajah lelah. Mereka berbahagia atas pernikahan sepasang pengantin yang
telah menjalin cinta selama bertahun-tahun. Mira dan Randi memiliki pemikiran
yang sama, kesukaan yang hampir seluruhnya sama, dan terpenting adalah cinta
yang akan selalu terjaga selamanya. Sara sahabatnya tak luput dari suksesnya
pesta itu. Ia selalu merencanakan yang terbaik bagi Mira dan Randi. Kisah cinta
itu awalnya tak direstui pihak wanita. Lantaran Randi yang belum berkecukupan
dan belum bekerja. Tapi Randi tak menyerah mempertahakan hubungan yang dibina
sejak mereka SMA. Mira sebagai sarjana bisnis Inggris, memiliki beragam ide membangun
perusahaan yang telah dipercayakannya. Randi yang juga sejurusan dengannya di
Indonesia turut membantu, sehingga
mereka berhasil menggapai hasil yang maksimal.
Tiga tahun setelah pernikahan, Mira melahirkan Santi.
Seharusnya Mira sudah memiliki anak setahun yang lalu. Tapi ia keguguran karena
terjatuh dari lantai tempatnya bekerja. Namun, Mira tidak putus asa dan berusaha
untuk membahagiakan suaminya. Ia berhasil menghadirkan buah hati. Randi sangat senang
dengan hadiah dari istrinya itu. Tapi, tidak lima tahun kemudian.
“Apa yang terjadi dengan Randy dokter?” Tanya Mira dengan
nada lemah. Wajahnya suram dan terlihat sangat tidak bersemangat. Ruangan ICU
sangat sepi hanya seorang perawat sedang mencatat identitas korban satunya
lagi.
“Apakah ia suami ibu?”
Mira diam dan menatap sebentar sang dokter.
“Apakah ibu baik-baik saja?”
“Saya baik dokter. Saya tidak apa-apa.” Iapun membuka suara
dengan tegar dan kuat.
“Baiklah, Sara hanya sedikit luka di kepalanya. Tapi Randi
mengalami cidera parah di beberapa anggota tubuhnya. Kemungkinan ada beberapa
hal buruk yang akan membuat ibu lebih tegar mengahadapinya. Ibu yang sabar.
Semuanya ada hikmah” Dokter seperti sudah paham dengan situasi yang terjadi.
Dokter hanya berbicara pada topik permasalahan. Dokter merasa bahwa harus
mengatakan secara langsung. Hal ini juga dapat memudahkan segala masalah.
Mira terus menunduk dan menatap kosong ke lantai rumah
sakit. Ia pun menangis. Ia sama sekali tak menyangka atas kejadian pelik ini. Ia
tak mau bertanya lagi, yang ada hanya memerihkan hati. Menambah luka yang
semakin dalam. Lebih baik ia mendengar daripada berbicara. Dokter itu pergi
meninggalkan Mira sendiri. Suasana benar-benar lenggang. Ia terkulai lemas dan tidak
berdaya. Di kejauhan seorang gadis kecil berlari-lari menemuinya dan memeluknya
dengan sigap.
“Ibu kenapa menangis?”
“Tidak sayang. Ibu hanya kelilipan.” Ucapnya lirih.
Mira melepas genggaman putrinya dan memulas pipinya. Ia menuju
ruangan suaminya di rawat. Menatap suaminya dan seseorang di sampingnya dengan
balutan perban berwarna putih yang sebagiannya di banjiri darah. Mira merasa
tak sanggup melihat apa yang terjadi. Ia tertekan serasa ingin mati. Dadanya sesak.
Tapi lagi-lagi Santi membuatnya ingin hidup sampai gadis kecilnya itu dewasa
nanti. Ia serba salah dan akhirnya ia berdoa meminta petunjuk.
***
Lima bulan yang lalu.
“Apa yang kamu lakukan Mira.” Randi meninggikan suaranya.
“Aku hanya ingin kamu dan Santi ada yang menjaga.” Mira
mencoba menenangkan suaminya yang mulai emosi.
“Ini bukan jalan keluar.” Ucap Randi dan memegang bahu
Mira.
“Ini cara yang tepat bagiku Randi.” Mira bersuara rendah.
“Hentikan omong kosong ini Mira. Kamu tetap istriku.
Apapun yang kamu alami kamu tetap wanita yang aku cintai.” Randi memegang kedua
pipi Mira dan melekatkan dahinya ke dahi Mira. Randi menangis keras. Ia tidak
mau berpisah dengan Mira.
“Aku mohon. Demi aku dan Santi Randi.” Ucap Mira sambil
mengenggam tangan suaminya itu.
Randi menatap kecewa dengan Mira. Rasanya ia ingin
membenci semua takdir yang terjadi. Tapi, apa boleh buat. Ini semua bukan
kehendak mereka. Mau tidak mau Randi harus menjalani pernikahan kedua kalinya.
Mira sangat sulit untuk diajak mengerti tentang hati Randi. Tapi Randi sadar
atas pengorbanan sang istri. Mira sengaja memilih di madu karena penyakit
kistanya. Ia memilih Sara sebagai sahabat terbaiknya. Sara juga beberapa kali
menolak tak ingin menghancurkan rumah tangga Mira.
“Ini bukan kamu yang mau Sara. Aku yang memintamu, aku
mohon kali padamu.”
Sara terdiam. Perlahan-lahan ia meneteskan air mata.
Tanpa berkata apapun, bahkan tanpa melihat Mira pun, Mira langsung memutuskan
bahwa Sara menerima permintaannya.
“Randi, kamu benar maukan menerima permintaan
terakhirku?”
Randy masih menunduk.
“Randy.” Pria itupun menatap tegas pada Mira. Wajahnya
menonjolkan kemarahan yang besar namun matanya memperlihatkan rasa sayang dan
cinta yang tak terbendung lagi oleh air mata.
“Baik Mira. Tapi izinkan aku mempersiapkan diriku
benar-benar dalam lima bulan ini. Aku ngak bisa melangsungkan pernikahan begitu
saja.”
“Baik. aku terima.” Terdengar suara petir menyambar. Hujan
turun deras. Menunjukkan kedua pasangan itu dari kaca jendela yang diuapkan
udara hujan.
***
Mira menatap taman rumah sakit. Terduduk di kursi panjang
dekat sebuah pohon yang lebat daunnya. Ia merenung seperti merasa menyesal
telah memaksa Randi dan Sara melakukan kemauannya. Mira berharap dengan
kepergiannya ke Inggris, untuk melakukan terapi akan membuatnya sembuh dan
kembali memulihkan rumah tangganya. Seandainya Mira tak berputus asa untuk
hidup sebelum kejadian itu, dan mencari tahu pada kerabatnya di Inggris untuk
penyembuhan, pastilah hal buruk itu takkan terjadi. Dan benar saja, harapannya
untuk hidup terwujud. Setelah hamir setahun Mira menjalani pengobatan yang
ditemani Ibunya dan Sara. Namun, Randi harus menghabiskan waktunya
bertahun-tahun di kursi roda karena lumpuh. Cinta sejati tidak pernah
mengkhianati hati mereka. Saling menerima dan belajar dari masa lalu. Mira
dengan suka cita dan tulus merawat Randi. Sara telah di karuniakan satu orang
anak dari pernikahannya dengan adik ipar Mira yaitu Ruslan. Dokter itu benar. Segala ketetapan Tuhan
menghasilkan nilai dan hikmah. Alhasil, semuanya berakhir utuh dan lebih indah.
SAAT KEJADIAN KECELAKAAN
Saat itu, Randi merasa berat beban yang ia dapatkan.
Pekerjaan sudah tidak lagi terbenak dan dipikirkan. Hidupnya hampa tanpa Mira.
Dan Sara juga tak ingin menyakiti suami sahabatnya itu. Saat mereka mencari
Mira yang belum pulang selama dua minggu. Randi tidak sadar bahwa mobilnya
sedang kondisi rusak. Ia tidak tahan dengan wajah Mira yang menghantui
pikirannya. Hingga hari itu, sebuah sepeeda motor menyebrang. Randi tidak
memperhatikan dan kecelakaan itu terjadi.
Sepenggal Puisi
UDARA
KEMATIAN
Aroma
menghembus
Membawa
pesan
Bukan
sembarang kata
Punya
tujuan yang tertanam dalam
Suara
seluit terdengar runcing
Menyatu
hitam ditindih merah berdarah
Masa
sudah semakin menengah
Menandakan
akan dipanggil sesaat lagi
Seseorang
terlihat gontai berjalan
Menyebarkan
aroma tapi mengasingkan badan
Ia
berpakaian pucat
Rambut-rambutnya
mengacak sinar rembulan
Mencari
sehelai harapan
Ingin
menyentuh dan membawanya
Hati
telah remuk terhantam badai
Sesal
dan pukulan tak cukup mengalihkan
Mungkin
aroma maut adalah akhir
Sebuah
rindu yang dibalik kebenarannya adalah maaf
Mata-mata
telah siap menikam nyawanya
Mungkin
bukan hanya dirinya
Dan
menjadi perbincangan para udara
kematian
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus