UDARA KEMATIAN
Damay Ar-Rahman
Sehelai
kain memulas lembut wajah Lie. Kain itu halus dan harumnya menembus hingga
dalam dadanya. Lie menatap langit-langit yang mulai diselimuti oleh awan-awan
gelap. Menandakan bahwa hujan akan turun sesaat lagi. Lelaki yang wajahnya
mulai memerah itu masih menatap datar pada surya yang memudar. Memudar karena
akan berganti malam. Entah mengapa hari ini begitu dingin. Sepi dan tak
sedikitpun cahaya yang ditunggu-tunggu datang menemani.
Lie
masih berat terbangun dari rebahannya. Ia tahu! Di setiap sudut jalan
orang-orang berkerumun menatapnya. Ia tidak menggubris, tetapi ia merasa aneh
pada dirinya. Bukan itu masalahnya. Tapi, kesepian yang mulai menggelapi.
Mengapa seperti sesak, jelmaan bayang-bayang hitam mulai menghalang pandang.
Tangannya seperti tak bertulang. Detakan jantungnya sangat cepat.
Tidak...tidak...
Ini
mungkin hanya hari ini. Karena rasa lelah atau mungkin cuaca sedang tidak
bersahabat. Ia merasa harus bangun
dengan sekuat tenaga. Mungkin orang-orang di sini sedang tidak ingin membantu.
Bukankah Xiang Ji pernah berkata. Kalau kau ingin berdiri berdirilah, jika kau
ingin diberdirikan tunggulah sampai gelap. Walaupun ungkapan itu terucap lima
belas tahun silam, tapi kata-kata itu tidak sedikitpun luput dari ingatannya.
Lie
masih pekat merasakan ucapan itu. Ia tahu maknanya. Begitu menusuk dan
menyengat. Memang benar kata orang lama, tak semua hidup dibangunkan oleh
harta, tetapi kata-kata bisa menyelamatkan dan berpengaruh besar.
Xing
Ji, ia selalu bijak menanggapi persoalan orang-orang apatis, orang-orang egois,
termasuk Lie yang terkadang menyinggung hatinya, perasaannya yang halus
walaupun kadang-kadang perempuan itu menyebalkan. Ia selalu bertahan dengan
tingkah buruk Lie. Ia sadar betapa kurang cantiknya dia. Tapi jika dibandingkan
dengan wanita lainnya, masih kalah jauh dari Xiang yang memiliki hati bagai
kemilau cahaya bintang di langit. Ah... dia benar-benar manusia berhati
malaikat.
***
Di
malam itu, rembulan begitu benderang menyinari. Dinginnya malam begitu
menyumsung hingga ke tulang. Jika orang-orang berjalan menelusuri sebuah jalan
di perbatasan kota Wuhan, mereka akan menemukan seorang gelandangan berusia
sepuluh tahun di samping tong sampah sedang membungkus dirinya dengan selimut
tebal. Terlihat lusuh dan sangat kotor.
Anak
itu tidak sedikitpun menatap orang-orang yang melintas di hadapannya. Ia
bergetar dan kedinginan. Ia tidak henti-hentinya berharap. Berharap ada seorang
dermawan menolongnya dari kemalangan. Kabur dari rumah adalah tujuannya.
Kemelaratan adalah resikonya. Apapun keburukan menimpanya, ia siap daripada
harus balik ke rumah neraka itu.
Lonceng
berbunyi terdengar dari arah toko seberang jalan. Itu menandakan sudah tengah
malam. Dua bulan sudah ia berada dijalanan. Tubuh putih mulusnya sudah berkerut
seperti selepas memegang es batu. Rambutnya
acak-acakkan. Terlihat kusam dan bau.
Di
kejauhan seorang gadis kecil sedang bergandengan dengan lelaki dewasa. Anak
perempuan itu berlompat-lompat sambil menggoyangkan tangan kanannya. Kedua
manusia itu terlihat habis membeli sekotak kue coklat. Anak perempuan itu terhenti
karena sesuatu yang dilihatnya.
“Ayahhhh.....ayah.....”
Panggilnya sambil menarik baju sang ayah.
“Xiang
Ji. Ada apa nak?” Lelaki dewasa itu bertanya heran.
“Ayah
lihat itu.” Sambil menunjuk ke arah tong
sampah pada anak laki-laki bernama Lie.
Lie
mulai takut. Ia semakin menyelimuti tubuhnya. Ia cemas akan di bawa ke kantor
polisi atau ke mana yang mungkin akan mengembalikannya. Ia lebih baik mati
daripada pulang. Ayah dan anak perempuannya itu langsung mendekati Lie. Lie
ingin berlari, tetapi penutup tong sampah tiba-tiba terbuka dan mengenai
kepalanya. Lie merintih kesakitan. Tubuhnya tiba-tiba lemas, tatapannya mulai
menggelap. Walaupun kepalanya sedikit mengeluarkan darah, Lie sekuat tenaga
bangun untuk berlari. Tapi, pandangan gelap itu membuatnya gagal untuk
menghindar. Tapi benar-benar sial ucapnya. Setelah menyebrang ia jatuh di
gumpalan salju depan toko respirasi jam.
***
Suasana
Kota Wuhan sangat ramai. Terlihat beberapa anak-anak dan remaja berderet rapi
di terminal bus menuju sekolah. Wuhan terlihat bersih setiap pagi. Toko-toko
belum semua terbuka. Xiang Ji berjalan dengan sedikit lambat. Wajahnya terlihat
murung seperti sedang kesal terhadap seseorang. Di belakang Lie mengejarnya
sambil memanggil namanya. Tapi Xiang Ji acuh sepertinya lagi-lagi Lie
membuatnya marah.
“Hei
jangan seperti itu Xiang. Aku hanya bercanda.” Lie memanggilnya sambil
mengangkat tangan kananya, dan Xiang masih diam dengan ekspresi datar.
“Hei
jawablah.” Ucap Lie sambil menyenggol pundak Xiang untuk memancingnya.
“Kau
keterlaluan Lie, mereka adalah tetanggaku yang baik. Mengapa kau begitu jahat
pada mereka.”
“Aku
sungguh tidak berniat mengambil bonekanya. Aku suka aja dan meminjamnya
sebentar.”
“Di
usiamu yang sudah 15 tahun ini? Kau memalukan.” Xiang memalingkan wajahnya dan
menatap sinis pada Lie. “Asal kau tahu, walaupun mereka muslim, mereka sangat
berbudi dan tahu menolong. Jika tidak ada ayah Syarifah, ayahku akan di babak
belur oleh rentenir. Aku sangat membencimu, mereka sudah seperti saudaraku.”
Xiang seperti ingin memangis.
“Baiklah-baik,
aku akan meminta maaf pada Syarifah. Tapi jangan diam ya. Maafkan aku” Lie
menatap Xiang dengan penuh permohonan maaf.
“Kau
tak salah padaku Lie, kau salah pada mereka. Kau harus berjanji untuk tidak
menganggu Syarifah lagi.”
“Iya
Xiang.” Lie menunjukkan wajah polosnya.
Lie
tersenyum lega. Hari itu Lie berjanji tidak akan lagi mengecewakan gadis itu.
Syarifah sebulan kemudian pindah ke Brunai, dan Lie membuat Xiang senang dengan
menghadiahi Syarifah sebuah jam tangan cantik.
Syarifah
dan keluarganya pamit dengan keluarga Xiang. Ibu Xiang meneteskan air mata, dan
ayahnya memeluk ayah Syarifah pria berdarah Turki. Semua tampak sedih saling
mengucapkan perpisahan. Mobil sedan bertulis taksi di atasnya berhenti dan
membawa keluarga Syrifah ke Bandara. Xiang tak henti-hentinya menangisi
kepergian sahabat suka dan dukanya itu. Lie terus menenangkannya sambil
merangkulnya.
“Jangan
menangis Xiang” Ucap Lie sambil menghapus air matanya.
“Aku
sudah kehilangan sahabat terbaik Lie.”
“Jadi
aku kau anggap apa?” Lie melepas rangkulannya.
“Di
saat seperti ini kau masih sempatnya bercanda Lie. Kau adalah sahabat terbaikku
juga.” Xiang menumbuk kecil bahu Lie.
“Kalau
begitu jangan menangis. Seorang sahabat selalu ingin sahabatnya tersenyum. Kita
kan bisa menghubungi Syarifah lewat telepon atau email. Kau tak perlu khawatir
Xiang.” Ucap Lie sambil menghapus air mata Xiang yang menunduk.
“Kau
sok jago Lie.”
“Eh
kau lupa aku pemenang olimpiade Ipa.” Lie berkata sombong sambil menatap langit
dan meletakkan kedua tangannya di pinggang.
“Dasar
kau.” Xiang tersenyum.
Sejak
Lie di bawa ke rumah Xiang oleh ayahnya, Lie merasa keluarga Xiang sangat
menyayanginya. Awalnya Lie sempat kabur beberapa kali, mengambil uang dan
memaki ayah Xiang. Tapi, ayah Xiang dan ayah Syarifah membantu menenangkan Lie.
Lie diasuh layaknya seorang anak oleh keluarga Xiang. Ia di sekolahkan. Dan
yang paling penting, keluarga Xiang tidak pernah mengungkit masa lalu Lie
apalagi mempertanyakannya.
Masa
lalu Lie sangat menyakitkan. Ibunya harus terbunuh karena tingkah ayahnya yang
pemabuk, penjudi, dan pemain wanita. Ibunya yang tak bersalah harus menjadi
korban kekerasan dan mati dihantam vas bunga ke wajahnya. Untunglah Lie anak
tunggal. Maka itu ia memilih pergi karena tak seorangpun lagi yang akan
menyayanginya. Keputusan itu ia ambil saat ayahnya tertidur pada tengah malam.
Lie mengambil semua uang lalu pergi ke Wuhan tanpa menitipkan pesan.
***
10
tahun kemudian.
Lie
keluar dari sebuah pertokoan. Tokoh besar dengan desain tradisional. Lie di
jaga ketat oleh banyak pengawal. Ia harus berhati-hati agar fansnya terkontrol
jangan sampai berteriak histeris ingin bertemu Lie.
Kebayakan
dari mereka bersuara remaja perempuan. Mereka sangat antusias atas kehadiran
Lie. Sampai-sampai ada yang menabrak orang lain didepannyaa demi bertemu
langsung dan meminta tanda tangannya. Tak peduli orang-orang itu saling memaki
bahkan menyenggol orang lain hingga terjatuh. Lie sudah mulai lelah malam itu.
Sebenarnya ia enggan pergi langsung ke apotik. Manajer Lie melarangnya karena
pasti situasi itu akan terjadi. Lie menutupi wajahnya dengan topi, berpura-pura
berjalan seperti orang biasa. Kerumunan itu tertinggal di belakangnya. Lie
memulas dadanya dan menghembuskan nafas. Ia membuka jeket, topi, lalu kaca
matanya. Sepanjang jalan cahaya warna-warni menghiasai kota. Berjejeran
orang-orang menjajakan makan malam di taman terutama di pusat pembelanjaan.
Lie
menyenderkan bahu dan kepalanya ke bangku mobil. Lalu ia memnyampingkan
kepalanya ke kanan menatap jalan yang kosong. Entah mengapa Xiang begitu dalam
di pikirannya. Kejadian empat belas hari yang lalu benar-benar sulit diterima.
Sejak Xiang pergi, ia tidak berselera dengan apapun siatuasi. Ia tidak peduli
dengan apapun. Sudah tiga iklan terbaik ia tolak dalam minggu ini.
Menyanggahnya karena butuh istirahat. Memang Lie tidak bersemangat.
Malam
itu saat subuh hampir menjelang, Xiang terlihat tidur di meja makan. Sepasang
lilin berdampingan menyinari ruang yang sedikit gelap. Sebuah vas dihadiri oleh
bunga berkelopak merah dara. Beragam makanan terhidang, tetapi terlihat
menghangatkan. Sayangnya Xiang sudah tertidur bahkan Liepun belum pulang.
Tiba-tiba
suara mobil terdengar. Pintu terdengar gaduh seperti ada seseorang yang
menendangnya. Pintu itu seperti terhantam ke dinding. Ternyata Lielah yang
melakukannya. Xiang terbangun dan kaget. Ia segera berlari karena khawatir
dengan suara yang mendebarkan itu. Apa yang dilihat Xiang. Lie sedang menyentuh
kedua dada wanita berpakaian amat terbuka. Mereka saling menindih di sofa ruang
tamu. Lie sangat berbuat tidak pantas di mata Xiang. Xiang dianggap apa. Apa guna
pernikahan yang digelar tujuh bulan lalu. Xiang amat sedih dengan perbuatan
suaminya yang bukan hanya sekali dilakukan. Tetapi, Xiang bersedia menemani dan
sabar apapun tingkah Lie.
“Hentikan
Lie.” Xiang berteriak dengan suara serak.
Lie
melihat wajah Xiang dengan tatapan benci.
“Kenapa
hah?” Ucap Lie melepas pelukan wanita itu.
“Mengapa
kau begitu tega denganku Lie. Jika memang kau benci, mengapa kau menikahiku
dulu.” Tanya Xiang sedih.
“Kau
mau tahu bodoh! Kau seharusnya menolakku saat aku berpura-pura ingin
menikahimu. Itu hanya sandiwaraku agar aku disangka baik. Seharusnya kau tahu
diri, tubuh gemuk dan kurang cantik sepertimu tidak pantas mendapatkan diriku.”
Lie menjawab kasar.
Serasa
seribu pedang menyayat hati Xiang. Ia tak menyangka lelaki yang amat
disayanginya ternyata membodohinya, membencinya, bahkan tega menyakitinya
secara tajam. Ia terus menangis mempertanyakan dalam hati mengapa ia harus
jatuh cinta pada orang yang bukan untuknya.
“Kau
benar Lie. Aku pikir kau benar-benar mencintaiku. Kata-katamu yang utarakan di
media, membuatku terpesona hingga aku tak menyadari bahwa semua hanya demi
egomu. Tapi aku sangat berterimakasih Lie, saat ibuku meninggal lima tahun lalu
dan ayahku selanjutnya menyusul, kau bersedia menikahiku. Aku tak mengira
apapun. Tapi, setidaknya ayahku sempat
melihat putri semata wayangnya menikah. Walaupun berujung nestapa yang aku
terima. Semoga kau bahagia dengan ketiadaan aku. Kau kini berubah Lie, sejak
dunia hiburan telah menjadi sahabatmu. Sehingga kau lupa padaku. Aku akan terus
berdoa atas kebahagiaan mu Lie.” Xiang pun berlari keluar meninggalkan Lie yang
bengong bersama wanita itu di belakangnya.
Lie
memasang wajah cemberut. Tapi, separuh hatinya merasa berdosa dengan wanita
yang kini sudah disakitinya. Lie tidak mengejarnya. Tapi tubuhnya lemas
seketika. Ia menyuruh wanita malam itu keluar. Walaupun sempat melawan, Lie
tetap memaksanya. Ia menutup pintu, lalu ke dapur dan dilihatnya meja makan
telah dihiasi makanan yang harumnya mengingatkannya pada masa kuliah mereka
dulu.
Semua
seperti daun berguguran. Tanaman bunga yang awalnya sempat mewarnainya kini
luput tak berbekas. Kata-kata Xiang benar-benar membuatnya sesal. Lie berlutut
dan menunduk. Ia meremas rambutnya. Air matanya berlinang untuk kedua kalinya,
ketika pertama menangisi kematian ibunya. Itu mungkin tak terhitung saat ia
masih bayi. Tapi, Lie sangat keras kepala sehingga berjanji mulai usia enam
tahun takkan menangis.
“Bodooh..bodoooh.”
Ucap Lie berteriak sambil memukul kepalanya. “Xiang ke mana kau. Jangan
tinggalkan aku.”
Lie
berlari, kakinya terkena anak tangga teras rumah lalu terjatuh. Ia mendapati
sebuah surat dan jam tangan di kotak kayu yang sepertinya tidak asing
ditatapnya. Ini adalah kotak yang kuinginkan dari Son Juang karena mencurinya
dariku. Lie ingat, saat SMA Lie menginginkan sebuah jam tangan milik musuh
bebuyutannya dulu. Dan tahukah? Di situ tertulis Xiang yang telah
memberikannya. Pantas saja gadis itu sangat sederhana kehidupanya demi
membelikan hadiah untuk Lie.
Lie
semakin terpukul. Ia berlari kencang sambil berteriak. Di kejauhan terlihat
sekumpulan orang sedang mengerumuni sesuatu. Sepertinya kecelakaan telah
terjadi. Lie yakin bukan Xiang di tengahnya berbaring. Tapi, Lie harus
melegakan hatinya. Ia pun menguatkan kakinya melangkah untuk melihat seseorang
di situ.
Lie
akhirnya menghembuskan nafas tenang. Korban itu bukan Xiang. Tapi, ternyata
baru satu yang dilihatnya. Xiang salah satu korban tabrak lari yang paling
parah kondisinya. Sekujur tubuhnya hampir dipenuhi darah hingga membasahi rambutnya.
Lie bergetar, ia menerobos orang-orang yang terkejut dengan kehadiran artis
papan atas itu.
“Maafkan
aku Xiang. Aku menyesal.” Ucapnya tersedu.
“Kau
tak perlu meminta maaf Lie. Aku yang tidak tahu diri karena mencintaimu. Aku
yang bodoh karena percaya pada hatiku.”
“Tidak
Xiang. Aku beruntung memiliki belahan jiwa sepertimu.”
“Apapun
yang terjadi denganku percayalah Lie. Kau adalah orang pertama dan terakhir
yang aku cintai.” Lirihnya.
Tiba-tiba
mobil ambulan terdengar dari jauh. Lie mengangkat tubuh Xiang dengan perasaan
takut.
***
Sebuah
televisi raksasa menampilkan pria dengan
gaya baju terbaru paling mahal di cina di gedung perbelanjaan di depan
apartemen Lie. Ia membisu menatap poster itu. Dulu, dirinyalah yang tergambar
dan menjadi perhatian para masyarakat. Kini, orang-orang mulai melupakannya
yang lusuh dan tidak terurus.
Sejak
Xiang pergi meninggalkannya, Lie depresi. Ini adalah satu tahun dua bulan
kepergiannya. Obat-obat terlarang menjadi pengalihnya. Ia sering mengurung
diri. Mengkonsumsi makanan-makanan ekstrim seperti ular dan kelelawar yang
dipesannya. Ia benar-benar hilang kesadaran. Biarpun ia mati atau hidup seperti
mati.
Lie
merasa apartemennya sangat panas. Sepertinya pendingin ruangan telah di matikan
karena Lie telat membayar. Lie pun keluar dari kamarnya. Ia mengenakan jaket
coklat. Entah mengapa tercium olehnya bau-bau menyengat yang sebelumnya tidak
ia kenal. Dihadapannya tiba-tiba seorang pria tua pingsan dengan tubuh
mengigil. Lie yang kaget mendekati pria itu dan mencoba menolongnya. Pria tua
itu muntah dan mengenai wajah Lie. Lie yang tidak peduli hanya mengelapnya
dengan saku baju. Ia berusaha membawa pria itu dan meminta tolong. Tapi,
mengapa orang-orang enggan dan seperti takut mendekat.
“Coronaa.coronaa..”
Seseorang menunjuk ke arah Lie.
Tiba-tiba
polisi dan perawat menggunakan baju putih menutupi tubuh mereka. Lie tidak tahu
apa yang terjadi. Setelah ia dipinta mundur ia pun masih bingung tentang
keadaan yang tampaknya menyeramkan bagi orang sekitar.
Hanya
butuh satu jam sebuah virus yang didengar Lie tiba-tiba mulai merambahi
tubuhnya. Ia mengingil, bergetar, kepalanya sakit, flu yang sudah tidak
beraturan. Karena tidak tertahankan oleh fisiknya, ia terjatuh. Ia menatap
langit datar dengan mata melotot. Nafasnya tersengal seperti ada sesuatu yang
besar menyumbat tenggorokannya. Tiba-tiba angin tenang tiba. Di susul dengan
kain tipis lembut memulas wajahnya. Terlihat seseorang yang tak asing baginya.
Wajah seorang wanita tersenyum dan semakin mendekat.
Lie
tertawa. Ia ingin meraih wanita itu. “Terimakasih Xiang.” Lie mengucap pelan
lalu menutup mata.