Sabtu, 18 Juli 2020

Puisi


Bagimu yang dingin di waktu subuh
Menjelma rupa yang tenang
Terbasuh cinta berwajah teduh
Kesenyapan dan suara rintik air
Lebih menenangkan
Melepas penat dan gundah dunia

Sang tahta telah subur disiram keagungan Tuhan
Membagikan butir-butir manisan
Melenyapkan kepahitan suara
Sedikitpun tak jauh dari pengetahuan menuju keselamatan
Ia selalu menyusup untuk mendamaikan
Membunuh kesiapan bisikan iblis yang melempar kesesatan

Selalu senantiasa membangunkan
Walau diri lirih
Kufur pada kekayaan hidup
Kedatangannya menjadi penantian bagi hati pengharap
Pencita-cita cinta iman


Tanah kering dan dingin, 18 Juli 2020

FILM



Damayanti

1. CHHICHOORE 2019
            Anni (Sunshant Singh Rajput) dan Maya (Sharadha Kapoor) sangat terpukul dengan kondisi anak mereka Raghav yang sedang kritis di rumah sakit karena lompat dari atas gedung. Penyebab depresi Raghav adalah ketidaberdayaannya menanggung kegagalan masuk kampus Teknik terkenal di India National College of Tekhnologi  dan takut dipanggil pecundang. Dokter mengatakan bahwa Raghav kemungkinan besar tidak akan selamat dari kritisnya, walau ia masih sadar dan bisa ditemui. Hal itu membuat Anni dan Maya putus asa. Annipun mencari cara bagaimana dapat membuat Raghav kembali semangat meski Raghav belum tentu sembuh. Ia teringat dengan masa lalunya saat kuliah. Anni pun menghubungi satu-persatu sahabatnya untuk membantunya menyembuhkan Raghav. Awalnya Maya merendahkan ide mantan suaminya itu. Tapi, Anni keras kepala hingga di sinilah awal mula kisah masa lalu Anni dan Maya diceritakan pada Raghav, termasuk para pecundang yang menjadikan filem ini semakin seru dan penuh tawa.
            Tahun 1992, Anni datang untuk mendaftar ulang di kampusnya.  Ia sudah tahu jika senior telah menunggu seluruh mahasiswa baru untuk diospek. Senior pertama yang disebut pecundang adalah Sexa, Mummy, Derek, Asam, dan Beuda. Anni dan teman barunya itu satu Hostel. Kampus teknik tersebut sangat langka dengan mahasiswa perempuan yang feminim. Suatu hari Anni melihat Maya berjalan anggun dan membuatnya jatuh cinta. Namun, Sexa menjelaskan bahwa Maya adalah gadis idaman para pria di kampusnya. Hal tersebut terbukti dari para mahasiswa yang selalu melirik dan berusaha mendekatinya walaupun Maya acuh dan cuek. Tapi, Anni berhasil mendapat hati Maya dan mereka berkencan.
            Hostel Ani dkk mendapat julukan sebagai Hostel para pecundang terutama mereka tidak pernah menjuarai turnamen olah raga. Hingga pada suatu hari Anni dan Derek berusaha menyemangati teman lainnya untuk memenangkan perlombaan dengan cara-cara unik dan konyol mereka walau akhirnya mereka gagal. Walau kemenangan belum mereka raih, tapi lawan mereka memberikan dukungan dengan mengajak para penonton bertepuk tangan, dan mengatakan Anni dkk adalah juara. Di sinilah motivasi yang didapatkan oleh Raghav. Bahwa kegagalan bukanlah akhir dari sebuah perjuangan, tetapi seberapa banyak kita bangkit untuk memulainya lagi.  Terdapat satu kata dalam filem ini yang sangat memotivasi Berbahagialah karena hidup ini singkat. Adapun akhir dari kisah ini, Raghav berhasil bangkit dan lulus di tempat kampus ayahnya dulu kuliah.

2. LAILA MAJNUN 2018
            Filem ini merupakan salah satu kisah cinta paling menyedihkan di dunia seperti kisah Romeo dan Juliet. Namun, film ini memiliki daya tarik menurut mimin karena memiliki unsur religius dan romantisme sekaligus mengandung unsur budaya dengan menampilkan keindahan alam yang semakin memikat hati saat menontonnya. Filem ini berlatar di Khasmir di mana Laila (Tripti Dimri) dan Jawaz (Avinash Tiwary) tinggal dan menempuh pendidikan. Jawaz yang telah mengenal Laila sejak kecil kembali dipertemukan saat mereka dewasa, dan membuat Jawaz jatuh cinta begitupun Laila sebaliknya. Namun, kisah cinta mereka tidak mendapat restu dari pihak keluarga Laila karena permusuhan dengan keluarga Jawaz. Lailapun dipaksa menikah dengan pria pilihan ayahnya. Sedangkan Jawaz yang tidak terima memilih merasakan sakit dan patah hati dengan pergi sejauh mungkin dari kehidupan Laila. Beberapa waktu kemudian Jawaz menjadi gila. Kegilaan Jawaz di pandangan masyarakat membuatnya disebut sebagai Majnun (Si Gila). Selama berumah tangga Laila tidak pernah mendapat kebahagiaan, bahkan disiksa selama bertahun-tahun oleh suaminya. Laila memikirkan dan merindukan Jawaz sepanjang waktu. Hal tersebut semakin menambah kemarahan suaminya.
            Beberapa tahun kemudian suami Laila meninggal. Kekuatan cinta membuat Jawaz dan Laila bertemu kembali. Namun, Laila diminta menjauh dari Jawaz dan menunggu masa iddah selama satu bulan. Bukannya itu menjadi kesempatan bersatunya mereka, Jawaz tiba-tiba dikejutkan dengan tasawuf dan sadar bahwa  menikah dengan Laila tidak akan menyelesaikan perjuangan cintanya. Jawaz juga sadar bahwa ia tidak membutuhkan Laila, begitupun Laila menyadari Jawaz kepadanya.  Bagi Jawaz, kembali dengan Laila hanya kesia-siaan sebuah makna cinta.
            Berakhirnya kisah ini dengan meninggalnya Laila karena beban kerinduannya pada Jawaz. Namun, mereka berdua dipersatukan di surga karena jalan cinta mereka yang suci.

3. M.S DHONI: THE UNTOLD STORY 2016
            Filem ini merupakan salah satu filem terlaris mendiang Sunshat Singh Rajput. M.S Dhoni dirilis pada akhir September 2016, dan mendapat banyak sambutan hangat dari para kritikus filem dan komentar positif dari para penikmat filem di seluruh dunia. Filem ini ditayangkan di 61 negara pada awal peluncurannya, dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa asing. M.S Dhoni mengisahkan tentang seorang olahragawan yang memulai awal kesuksesannya melalui seorang pemain kriket. Kisah ini diangkat berdasarkan kisah nyata dari seorang tokoh terkenal Mehandra Sigh Dhoni pemenang kejuaraan dunia pada tahun 1981.
            Mahendra Singh Dhoni dalam filem ini diperankan oleh Sunshat Singh Rajput, Disha Patani sebagai Priyanka, dan Kiara Advani memerankan Sakshi Rawat. Cerita ini dimulai dari Pan Singh ayah Dhoni yang belum mengetahui kelahiran jenis kelamin anaknya. Ketika anaknya lahir sebagai laki-laki iapun memberi nama dan berharap agar kelak dapat membanggakan negara. Dhoni selama di sekolah dikenal anak yang pintar, namun sering melihat teman dan seniornya ikut dalam kegiatan olahraga. Dhoni yang merasa suka dengan kegiatan tersebut ikut bermain dan salah satu kapten menyukai cara bermainnya. Dhoni pun bergabung, walau beberapa kali gagal mengikuti kompetisi tidak membuatnya menyerah. Selain itu, sahabat-sahabatnya juga mendukung bahkan mengantarnya setiap hari sepulang sekolah menuju tempat latihan. Namun, karena desakan ayahnya yang meminta Dhoni untuk bekerja sebagai penjual tiket membuatnya rela meninggalkan impiannya menjadi pemain kriket profesional. Semakin hari Dhoni merasa depresi karena pekerjaan yang dijalaninya. Ia pun mengalihkan rasa depresinya dengan latihan bermain kriket sepulang kerja. Lagi-lagi gaya bermainnya menarik hati kapten. Ia pun dijadikan sebagai pemain inti dan meninggalkan pekerjaannya, hal tersebut juga telah disetujui oleh sang ayah.
            Berlangsungnya perjuangan Dhoni sebagai pemain kriket, juga di karenakan kisah cintanya kepada Priyanka dan membuat Dhoni menjadi semangat untuk menjadi juara. Priyanka selalu memberikan motivasi dan mendorongnya agar tidak menyerah, namun sebuah kecelakaan terjadi dan menyebabkan Priyanka meninggal dunia. Dhoni menjadi depresi sehingga membuatnya gagal untuk masuk babak final. Beberapa tahun kemudian ia kembali bangkit, dan bertemu dengan Sakshi pekerja hotel tempatnya menginap. Awalnya Dhoni trauma akan kisah cintanya di masa lalu. Tetapi, Sakshi membuatnya membuka hati dan Dhoni menikahinya. Pernikahannya dengan Sakshi, membawanya menjadi pemain kriket terkenal. Hal paling penting baginya Sakshi tidak hanya kekasih tetapi juga sahabat. Filem ini membuat Sunshat Sigh Rajput terbawa perasaan karena salah satunya kisah cinta Mahendra Sigh Dhoni yang ditinggal mati oleh Priyanka.

4. PADMAN 2018

Jika di negara Barat memiliki Badman, maka di India memiliki Padman.
           
            Filem ini diangkat berdasarkan kisah nyata dari tokoh paling berpengaruh bagi wanita ialah Arunachalam Muruganantham. Arunachalam diperankan oleh Aksay Kumar atau dipanggil Laksmi dalam filem ini. Laksmi adalah pria penyayang dan pekerja bengkel yang baru menikah dengan Gayatri (Radhika Apte). Mereka tinggal di sebuah desa kecil di India. Suatu hari Gayatri menstruasi.  Gayatri  menggunakan kain bekas sebagai pelapis haidnya, karena harga pembalut sangat mahal. Laksmi sangat tidak suka melihat istrinya dan adik perempuannya menggunakan kain bekas sehingga Laksmi membelikannya namun ditolak Gayatri karena baginya membuang-buang uang. Hal tersebut membuat Laksmi tidak berhenti. Ia mencari akal untuk membuat sebuah pembalut wanita. Banyak kegagalan yang didapatkan oleh Laksmi. Ia menjadikan istri dan adik perempuannya sebagai kelinci percobaan namun gagal dan tidak mau mencobanya lagi. Tidak sampai di situ, Laksmipun mencobanya sendiri. Namun, lagi-lagi Laksmi gagal sehingga orang-orang semakin menghina dan mencacinya karena mempermalukan kaum wanita. Gayatri tidak sanggup melihat Laksmi dihina. Ia pun pulang bersama keluarganya jauh dari Laksmi. Hal itu membuatnya semakin sedih namun di sisi lain ia tetap berusaha untuk membuktikan niat baiknya. Laksmipun berhasil. Keberhasilannya salah satunya didukung oleh Paria Walia (Sonam Kapoor). Laksmi membuat percobaan berkali-kali dan mengikuti festival teknologi. Ia memenangkan festival tersebut dan dipanggil Padman oleh tokoh besar industri bollywood Amitabh Bachan. Laksmi disebut pria berpengaruh di India dan membuat namanya terkenal. Karyanya juga laris diperdagangkan dengan harga sangat murah, bahkan ia diundang ke New York sebagai pembicara di hadapan karyawan PBB.

5. ASSES 2018
            Filem Punjab mengharukan ini mengisahkan tentang seorang anak yang sangat berbakti dan menyayangi ibunya (Rupinder Ruppi). Asses Singh (Rana Ranbir) adalah anak yang paling berbeda dari keempat saudara lainnya.  Asses dan ibunya tinggal di rumah yang sangat sederhana dengan beberapa lahan tanah yang menjadi rebutan saudara-saudara Asses. Asses sering mendapat hinaan termasuk tentang pernikahan yang belum terjadi pada dirinya. Tetapi Asses membalas dengan senyuman, mengalah, dan menenangkan sang ibu. Pada suatu hari Asses mengadakan pertemuan dengan saudaranya, beberapa masyarakat dan perangkat desa turut hadir menjadi saksi. Asses membahas masalah pembagian tanah warisan yang ke semuanya diberikan kepada mereka termasuk haknya. Namun dengan satu syarat, Asses meminta sang Ibu menjadi hak miliknya secara utuh tanpa diganggu gugat dari kakak dan adiknya yang telah sukses tersebut. Bukannya menolak permintaan Asses, malah saudaranya menerima dengan membiarkan ibu kandung mereka tidak lagi menjadi orangtua. Hal tersebut jelas  miris di mata para masyarakat terutama salah satu saudara Asses adalah seorang guru besar di sebuah perguruan tinggi.
            Beberapa waktu kemudian  Asses tiba-tiba menghilang dan membuat sang ibu cemas hingga mencarinya ke manapun. Ia meminta tolong dengan semua anaknya tetapi kedatangannya ditolak mentah-mentah. Seorang pria terkenal melihat ibu Asses tengah kebingungan karena mencari Asses. Lalu ia turut membantu bahkan memberinya banyak fasilitas seperti tempat tinggal. Akhirnya Asses pulang dengan sendirinya. Asses yang terkenal akan kesabarannya berakhir dengan kebahagiaan yang berlimpah-limpah bahkan mendapat istri yang cantik sebelum ia memiliki harta.  Kekayaan tersebut membuat saudara-saudaranya dulu datang bertamu. Namun Asses menolaknya secara halus, karena merasa sakit hati telah membuat ibunya terluka.


Sabtu, 11 Juli 2020


UDARA KEMATIAN
Damay Ar-Rahman

            Sehelai kain memulas lembut wajah Lie. Kain itu halus dan harumnya menembus hingga dalam dadanya. Lie menatap langit-langit yang mulai diselimuti oleh awan-awan gelap. Menandakan bahwa hujan akan turun sesaat lagi. Lelaki yang wajahnya mulai memerah itu masih menatap datar pada surya yang memudar. Memudar karena akan berganti malam. Entah mengapa hari ini begitu dingin. Sepi dan tak sedikitpun cahaya yang ditunggu-tunggu datang menemani.
            Lie masih berat terbangun dari rebahannya. Ia tahu! Di setiap sudut jalan orang-orang berkerumun menatapnya. Ia tidak menggubris, tetapi ia merasa aneh pada dirinya. Bukan itu masalahnya. Tapi, kesepian yang mulai menggelapi. Mengapa seperti sesak, jelmaan bayang-bayang hitam mulai menghalang pandang. Tangannya seperti tak bertulang. Detakan jantungnya sangat cepat.
            Tidak...tidak...
            Ini mungkin hanya hari ini. Karena rasa lelah atau mungkin cuaca sedang tidak bersahabat. Ia  merasa harus bangun dengan sekuat tenaga. Mungkin orang-orang di sini sedang tidak ingin membantu. Bukankah Xiang Ji pernah berkata. Kalau kau ingin berdiri berdirilah, jika kau ingin diberdirikan tunggulah sampai gelap. Walaupun ungkapan itu terucap lima belas tahun silam, tapi kata-kata itu tidak sedikitpun luput dari ingatannya.
            Lie masih pekat merasakan ucapan itu. Ia tahu maknanya. Begitu menusuk dan menyengat. Memang benar kata orang lama, tak semua hidup dibangunkan oleh harta, tetapi kata-kata bisa menyelamatkan dan berpengaruh besar.
            Xing Ji, ia selalu bijak menanggapi persoalan orang-orang apatis, orang-orang egois, termasuk Lie yang terkadang menyinggung hatinya, perasaannya yang halus walaupun kadang-kadang perempuan itu menyebalkan. Ia selalu bertahan dengan tingkah buruk Lie. Ia sadar betapa  kurang cantiknya dia. Tapi jika dibandingkan dengan wanita lainnya, masih kalah jauh dari Xiang yang memiliki hati bagai kemilau cahaya bintang di langit. Ah... dia benar-benar manusia berhati malaikat.
***
            Di malam itu, rembulan begitu benderang menyinari. Dinginnya malam begitu menyumsung hingga ke tulang. Jika orang-orang berjalan menelusuri sebuah jalan di perbatasan kota Wuhan, mereka akan menemukan seorang gelandangan berusia sepuluh tahun di samping tong sampah sedang membungkus dirinya dengan selimut tebal.  Terlihat  lusuh dan sangat kotor.
            Anak itu tidak sedikitpun menatap orang-orang yang melintas di hadapannya. Ia bergetar dan kedinginan. Ia tidak henti-hentinya berharap. Berharap ada seorang dermawan menolongnya dari kemalangan. Kabur dari rumah adalah tujuannya. Kemelaratan adalah resikonya. Apapun keburukan menimpanya, ia siap daripada harus balik ke rumah neraka itu.
            Lonceng berbunyi terdengar dari arah toko seberang jalan. Itu menandakan sudah tengah malam. Dua bulan sudah ia berada dijalanan. Tubuh putih mulusnya sudah berkerut seperti selepas memegang es  batu. Rambutnya acak-acakkan. Terlihat kusam dan bau.
            Di kejauhan seorang gadis kecil sedang bergandengan dengan lelaki dewasa. Anak perempuan itu berlompat-lompat sambil menggoyangkan tangan kanannya. Kedua manusia itu terlihat habis membeli sekotak kue coklat. Anak perempuan itu terhenti karena sesuatu yang dilihatnya.
            “Ayahhhh.....ayah.....” Panggilnya sambil menarik baju sang ayah.
            “Xiang Ji. Ada apa nak?” Lelaki dewasa itu bertanya heran.
            “Ayah lihat itu.” Sambil menunjuk  ke arah tong sampah  pada anak laki-laki bernama Lie.
            Lie mulai takut. Ia semakin menyelimuti tubuhnya. Ia cemas akan di bawa ke kantor polisi atau ke mana yang mungkin akan mengembalikannya. Ia lebih baik mati daripada pulang. Ayah dan anak perempuannya itu langsung mendekati Lie. Lie ingin berlari, tetapi penutup tong sampah tiba-tiba terbuka dan mengenai kepalanya. Lie merintih kesakitan. Tubuhnya tiba-tiba lemas, tatapannya mulai menggelap. Walaupun kepalanya sedikit mengeluarkan darah, Lie sekuat tenaga bangun untuk berlari. Tapi, pandangan gelap itu membuatnya gagal untuk menghindar. Tapi benar-benar sial ucapnya. Setelah menyebrang ia jatuh di gumpalan salju depan toko respirasi jam.
***
            Suasana Kota Wuhan sangat ramai. Terlihat beberapa anak-anak dan remaja berderet rapi di terminal bus menuju sekolah. Wuhan terlihat bersih setiap pagi. Toko-toko belum semua terbuka. Xiang Ji berjalan dengan sedikit lambat. Wajahnya terlihat murung seperti sedang kesal terhadap seseorang. Di belakang Lie mengejarnya sambil memanggil namanya. Tapi Xiang Ji acuh sepertinya lagi-lagi Lie membuatnya marah.
            “Hei jangan seperti itu Xiang. Aku hanya bercanda.” Lie memanggilnya sambil mengangkat tangan kananya, dan Xiang masih diam dengan ekspresi datar.
            “Hei jawablah.” Ucap Lie sambil menyenggol pundak Xiang untuk memancingnya.
            “Kau keterlaluan Lie, mereka adalah tetanggaku yang baik. Mengapa kau begitu jahat pada mereka.”
            “Aku sungguh tidak berniat mengambil bonekanya. Aku suka aja dan meminjamnya sebentar.”
            “Di usiamu yang sudah 15 tahun ini? Kau memalukan.” Xiang memalingkan wajahnya dan menatap sinis pada Lie. “Asal kau tahu, walaupun mereka muslim, mereka sangat berbudi dan tahu menolong. Jika tidak ada ayah Syarifah, ayahku akan di babak belur oleh rentenir. Aku sangat membencimu, mereka sudah seperti saudaraku.” Xiang seperti ingin memangis.
            “Baiklah-baik, aku akan meminta maaf pada Syarifah. Tapi jangan diam ya. Maafkan aku” Lie menatap Xiang dengan penuh permohonan maaf.
            “Kau tak salah padaku Lie, kau salah pada mereka. Kau harus berjanji untuk tidak menganggu Syarifah lagi.”
            “Iya Xiang.”  Lie menunjukkan wajah polosnya.
            Lie tersenyum lega. Hari itu Lie berjanji tidak akan lagi mengecewakan gadis itu. Syarifah sebulan kemudian pindah ke Brunai, dan Lie membuat Xiang senang dengan menghadiahi Syarifah sebuah jam tangan cantik.
            Syarifah dan keluarganya pamit dengan keluarga Xiang. Ibu Xiang meneteskan air mata, dan ayahnya memeluk ayah Syarifah pria berdarah Turki. Semua tampak sedih saling mengucapkan perpisahan. Mobil sedan bertulis taksi di atasnya berhenti dan membawa keluarga Syrifah ke Bandara. Xiang tak henti-hentinya menangisi kepergian sahabat suka dan dukanya itu. Lie terus menenangkannya sambil merangkulnya.
            “Jangan menangis Xiang” Ucap Lie sambil menghapus air matanya.
            “Aku sudah kehilangan sahabat terbaik Lie.”
            “Jadi aku kau anggap apa?” Lie melepas rangkulannya.
            “Di saat seperti ini kau masih sempatnya bercanda Lie. Kau adalah sahabat terbaikku juga.” Xiang menumbuk kecil bahu Lie.
            “Kalau begitu jangan menangis. Seorang sahabat selalu ingin sahabatnya tersenyum. Kita kan bisa menghubungi Syarifah lewat telepon atau email. Kau tak perlu khawatir Xiang.” Ucap Lie sambil menghapus air mata Xiang yang menunduk.
            “Kau sok jago Lie.”
            “Eh kau lupa aku pemenang olimpiade Ipa.” Lie berkata sombong sambil menatap langit dan meletakkan kedua tangannya di pinggang.
            “Dasar kau.” Xiang tersenyum.
            Sejak Lie di bawa ke rumah Xiang oleh ayahnya, Lie merasa keluarga Xiang sangat menyayanginya. Awalnya Lie sempat kabur beberapa kali, mengambil uang dan memaki ayah Xiang. Tapi, ayah Xiang dan ayah Syarifah membantu menenangkan Lie. Lie diasuh layaknya seorang anak oleh keluarga Xiang. Ia di sekolahkan. Dan yang paling penting, keluarga Xiang tidak pernah mengungkit masa lalu Lie apalagi mempertanyakannya.
            Masa lalu Lie sangat menyakitkan. Ibunya harus terbunuh karena tingkah ayahnya yang pemabuk, penjudi, dan pemain wanita. Ibunya yang tak bersalah harus menjadi korban kekerasan dan mati dihantam vas bunga ke wajahnya. Untunglah Lie anak tunggal. Maka itu ia memilih pergi karena tak seorangpun lagi yang akan menyayanginya. Keputusan itu ia ambil saat ayahnya tertidur pada tengah malam. Lie mengambil semua uang lalu pergi ke Wuhan tanpa menitipkan pesan.
***
            10 tahun kemudian.
            Lie keluar dari sebuah pertokoan. Tokoh besar dengan desain tradisional. Lie di jaga ketat oleh banyak pengawal. Ia harus berhati-hati agar fansnya terkontrol jangan sampai berteriak histeris ingin bertemu Lie.
            Kebayakan dari mereka bersuara remaja perempuan. Mereka sangat antusias atas kehadiran Lie. Sampai-sampai ada yang menabrak orang lain didepannyaa demi bertemu langsung dan meminta tanda tangannya. Tak peduli orang-orang itu saling memaki bahkan menyenggol orang lain hingga terjatuh. Lie sudah mulai lelah malam itu. Sebenarnya ia enggan pergi langsung ke apotik. Manajer Lie melarangnya karena pasti situasi itu akan terjadi. Lie menutupi wajahnya dengan topi, berpura-pura berjalan seperti orang biasa. Kerumunan itu tertinggal di belakangnya. Lie memulas dadanya dan menghembuskan nafas. Ia membuka jeket, topi, lalu kaca matanya. Sepanjang  jalan cahaya  warna-warni menghiasai kota. Berjejeran orang-orang menjajakan makan malam di taman terutama di pusat pembelanjaan.
            Lie menyenderkan bahu dan kepalanya ke bangku mobil. Lalu ia memnyampingkan kepalanya ke kanan menatap jalan yang kosong. Entah mengapa Xiang begitu dalam di pikirannya. Kejadian empat belas hari yang lalu benar-benar sulit diterima. Sejak Xiang pergi, ia tidak berselera dengan apapun siatuasi. Ia tidak peduli dengan apapun. Sudah tiga iklan terbaik ia tolak dalam minggu ini. Menyanggahnya karena butuh istirahat. Memang Lie tidak bersemangat.
            Malam itu saat subuh hampir menjelang, Xiang terlihat tidur di meja makan. Sepasang lilin berdampingan menyinari ruang yang sedikit gelap. Sebuah vas dihadiri oleh bunga berkelopak merah dara. Beragam makanan terhidang, tetapi terlihat menghangatkan. Sayangnya Xiang sudah tertidur bahkan Liepun belum pulang.
            Tiba-tiba suara mobil terdengar. Pintu terdengar gaduh seperti ada seseorang yang menendangnya. Pintu itu seperti terhantam ke dinding. Ternyata Lielah yang melakukannya. Xiang terbangun dan kaget. Ia segera berlari karena khawatir dengan suara yang mendebarkan itu. Apa yang dilihat Xiang. Lie sedang menyentuh kedua dada wanita berpakaian amat terbuka. Mereka saling menindih di sofa ruang tamu. Lie sangat berbuat tidak pantas di mata Xiang. Xiang dianggap apa. Apa guna pernikahan yang digelar tujuh bulan lalu. Xiang amat sedih dengan perbuatan suaminya yang bukan hanya sekali dilakukan. Tetapi, Xiang bersedia menemani dan sabar apapun tingkah Lie.
            “Hentikan Lie.” Xiang berteriak dengan suara serak.
            Lie melihat wajah Xiang dengan tatapan benci.
            “Kenapa hah?” Ucap Lie melepas pelukan wanita itu.
            “Mengapa kau begitu tega denganku Lie. Jika memang kau benci, mengapa kau menikahiku dulu.” Tanya Xiang sedih.
            “Kau mau tahu bodoh! Kau seharusnya menolakku saat aku berpura-pura ingin menikahimu. Itu hanya sandiwaraku agar aku disangka baik. Seharusnya kau tahu diri, tubuh gemuk dan kurang cantik sepertimu tidak pantas mendapatkan diriku.” Lie menjawab kasar.
            Serasa seribu pedang menyayat hati Xiang. Ia tak menyangka lelaki yang amat disayanginya ternyata membodohinya, membencinya, bahkan tega menyakitinya secara tajam. Ia terus menangis mempertanyakan dalam hati mengapa ia harus jatuh cinta pada orang yang bukan untuknya.
            “Kau benar Lie. Aku pikir kau benar-benar mencintaiku. Kata-katamu yang utarakan di media, membuatku terpesona hingga aku tak menyadari bahwa semua hanya demi egomu. Tapi aku sangat berterimakasih Lie, saat ibuku meninggal lima tahun lalu dan ayahku selanjutnya menyusul, kau bersedia menikahiku. Aku tak mengira apapun. Tapi,  setidaknya ayahku sempat melihat putri semata wayangnya menikah. Walaupun berujung nestapa yang aku terima. Semoga kau bahagia dengan ketiadaan aku. Kau kini berubah Lie, sejak dunia hiburan telah menjadi sahabatmu. Sehingga kau lupa padaku. Aku akan terus berdoa atas kebahagiaan mu Lie.” Xiang pun berlari keluar meninggalkan Lie yang bengong bersama wanita itu di belakangnya.
            Lie memasang wajah cemberut. Tapi, separuh hatinya merasa berdosa dengan wanita yang kini sudah disakitinya. Lie tidak mengejarnya. Tapi tubuhnya lemas seketika. Ia menyuruh wanita malam itu keluar. Walaupun sempat melawan, Lie tetap memaksanya. Ia menutup pintu, lalu ke dapur dan dilihatnya meja makan telah dihiasi makanan yang harumnya mengingatkannya pada masa kuliah mereka dulu.
            Semua seperti daun berguguran. Tanaman bunga yang awalnya sempat mewarnainya kini luput tak berbekas. Kata-kata Xiang benar-benar membuatnya sesal. Lie berlutut dan menunduk. Ia meremas rambutnya. Air matanya berlinang untuk kedua kalinya, ketika pertama menangisi kematian ibunya. Itu mungkin tak terhitung saat ia masih bayi. Tapi, Lie sangat keras kepala sehingga berjanji mulai usia enam tahun takkan menangis.
            “Bodooh..bodoooh.” Ucap Lie berteriak sambil memukul kepalanya. “Xiang ke mana kau. Jangan tinggalkan aku.”
            Lie berlari, kakinya terkena anak tangga teras rumah lalu terjatuh. Ia mendapati sebuah surat dan jam tangan di kotak kayu yang sepertinya tidak asing ditatapnya. Ini adalah kotak yang kuinginkan dari Son Juang karena mencurinya dariku. Lie ingat, saat SMA Lie menginginkan sebuah jam tangan milik musuh bebuyutannya dulu. Dan tahukah? Di situ tertulis Xiang yang telah memberikannya. Pantas saja gadis itu sangat sederhana kehidupanya demi membelikan hadiah untuk Lie.
            Lie semakin terpukul. Ia berlari kencang sambil berteriak. Di kejauhan terlihat sekumpulan orang sedang mengerumuni sesuatu. Sepertinya kecelakaan telah terjadi. Lie yakin bukan Xiang di tengahnya berbaring. Tapi, Lie harus melegakan hatinya. Ia pun menguatkan kakinya melangkah untuk melihat seseorang di situ.
            Lie akhirnya menghembuskan nafas tenang. Korban itu bukan Xiang. Tapi, ternyata baru satu yang dilihatnya. Xiang salah satu korban tabrak lari yang paling parah kondisinya. Sekujur tubuhnya hampir dipenuhi darah hingga membasahi rambutnya. Lie bergetar, ia menerobos orang-orang yang terkejut dengan kehadiran artis papan atas itu.
            “Maafkan aku Xiang. Aku menyesal.” Ucapnya tersedu.
            “Kau tak perlu meminta maaf Lie. Aku yang tidak tahu diri karena mencintaimu. Aku yang bodoh karena percaya pada hatiku.”
            “Tidak Xiang. Aku beruntung memiliki belahan jiwa sepertimu.”
            “Apapun yang terjadi denganku percayalah Lie. Kau adalah orang pertama dan terakhir yang aku cintai.” Lirihnya.
            Tiba-tiba mobil ambulan terdengar dari jauh. Lie mengangkat tubuh Xiang dengan perasaan takut.
***
            Sebuah televisi  raksasa menampilkan pria dengan gaya baju terbaru paling mahal di cina di gedung perbelanjaan di depan apartemen Lie. Ia membisu menatap poster itu. Dulu, dirinyalah yang tergambar dan menjadi perhatian para masyarakat. Kini, orang-orang mulai melupakannya yang lusuh dan tidak terurus.
            Sejak Xiang pergi meninggalkannya, Lie depresi. Ini adalah satu tahun dua bulan kepergiannya. Obat-obat terlarang menjadi pengalihnya. Ia sering mengurung diri. Mengkonsumsi makanan-makanan ekstrim seperti ular dan kelelawar yang dipesannya. Ia benar-benar hilang kesadaran. Biarpun ia mati atau hidup seperti mati.
            Lie merasa apartemennya sangat panas. Sepertinya pendingin ruangan telah di matikan karena Lie telat membayar. Lie pun keluar dari kamarnya. Ia mengenakan jaket coklat. Entah mengapa tercium olehnya bau-bau menyengat yang sebelumnya tidak ia kenal. Dihadapannya tiba-tiba seorang pria tua pingsan dengan tubuh mengigil. Lie yang kaget mendekati pria itu dan mencoba menolongnya. Pria tua itu muntah dan mengenai wajah Lie. Lie yang tidak peduli hanya mengelapnya dengan saku baju. Ia berusaha membawa pria itu dan meminta tolong. Tapi, mengapa orang-orang enggan dan seperti takut mendekat.
            “Coronaa.coronaa..” Seseorang menunjuk ke arah Lie.
            Tiba-tiba polisi dan perawat menggunakan baju putih menutupi tubuh mereka. Lie tidak tahu apa yang terjadi. Setelah ia dipinta mundur ia pun masih bingung tentang keadaan yang tampaknya menyeramkan bagi orang sekitar.
            Hanya butuh satu jam sebuah virus yang didengar Lie tiba-tiba mulai merambahi tubuhnya. Ia mengingil, bergetar, kepalanya sakit, flu yang sudah tidak beraturan. Karena tidak tertahankan oleh fisiknya, ia terjatuh. Ia menatap langit datar dengan mata melotot. Nafasnya tersengal seperti ada sesuatu yang besar menyumbat tenggorokannya. Tiba-tiba angin tenang tiba. Di susul dengan kain tipis lembut memulas wajahnya. Terlihat seseorang yang tak asing baginya. Wajah seorang wanita tersenyum dan semakin mendekat.
            Lie tertawa. Ia ingin meraih wanita itu. “Terimakasih Xiang.” Lie mengucap pelan lalu menutup mata.


RUANG PUTIH
Damay Ar-Rahman

                Sebuah televisi berukuran besar memperlihatkan seorang wanita berambut panjang sedang membawa berita utama.  Televisi itu terletak di atas tiang dekat ruang dokter spesialis. Seorang wanita mengelus-elus bayinya yang tertidur pulas di gendongannya. Wanita itu melihat layar televisi, sesekali Ia juga menatap awan putih yang cerah disertai asap-asap polusi yang mengepul di udara. Wajahnya termenung menatap sederet awan yang perlahan-lahan mulai bersatu dan membentuk gumpalan putih yang tebal. Tapi ada yang risih di benaknya. Matanya yang tadinya sayu menatap datar ke luar jendela, seketika dibuat terkejut dengan mengingat mendiang seseorang yang amat dicintainya.
            Hatinya membatin, “Sampai kapan kota ini akan pulih dari pencemaran udara. Gara-gara udara kotor itu, anakku menjadi yatim.” Lagi-lagi ia pasrah dengan kondisi.
            “Sulastri Pratiwi.” Seorang suster memanggil namanya. Lastri bangun dari tempat duduknya  dan segera membawa bayinya untuk diperiksa.
            Lastri melewati orang-orang yang duduk berjejer. Beberapa di antara mereka memperhatikan Lastri dan anaknya.
            “Bagaimana dokter dengan anak saya?”
            “Gini buk, kondisi Jannah semakin parah, sepertinya Ibu harus tinggal di Jakarta untuk sementara. Soalnya Jannah harus menerima perawatan dari kami. Jika tidak kemungkinan besar tumor Jannah tidak akan hilang, tubuhnya akan semakin memburuk.” Dokter menyampaikan dengan wajah berduka.
            “Ya Allah, cobaan apa lagi ini. Suamiku baru aja meninggal. Jika nanti aku tinggalkan kampung bagaimana kedua anakku yang sekarang entah sedang apa.” Ucapnya pelan.
            “Dokter apakah tidak ada jalan lain.” Sambungnya lagi.
            “Maaf bu, ini keputusan terakhir.” Sang dokter menarik nafasnya secara pelan.
            “Baik dokter, saya akan berusaha yang terbaik buat Jannah. Terimakasih dokter, berarti besok jam berapa saya kembali?”
            “Jam 10.” Ucapnya singkat, sambil melirik jam dinding dihadapannya.
            “Baik Dokter. Saya pamit.” Ucap Sulastri sambil tersenyum getir.
            Lastri membuka pintu ruang dokter sambil berpikir. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Kemungkinan kedua anaknya yang ditinggalkan di kampung itu harus dibawanya juga ke Jakarta. Sanak saudara di kampung sudah pada meninggal dan beberapa ke luar negeri bekerja.Wanita yang baru saja ditinggal suaminya lima bulan lalu itu, terpaksa harus pergi ke kota besar untuk membawa anak bungsunya berobat sekaligus mengambil uang ansuransi kematian suaminya Aryo. Aryo menderita penyakit radang paru-paru sejak kepergiannya ke Jakarta tiga tahun lalu. Ia bekerja sebagai pengangkut sampah. Aryo seorang pemuda lulusan SMP menikahi kembang desa yaitu Lastri lulusan SMA. Mereka dikarunia dua orang putra dan satu orang putri.  Syukur sebagai anak pertama, adik keduanya Iman, dan terakhir Jannah.
            Lastri sebagai seorang istri selalu bersikeras merawat anaknya dengan baik. Walaupun ia tidak bersekolah tinggi. Lastri rajin mengunjungi perpustakaan di kampugnya, seminggu ia meminjam lima buku, dan dibaca setelah menyelesaikan tugasnya mengurus anak dan rumah. Buku-buku itu habis di bacanya, terutama buku-buku cerita atau novel untuk menambah motivasi yang akan diceritakannya pada anak-anaknya sebelum tidur. Ia juga mengajarkan ilmu agama pada anak-anaknya. Si kecil Jannah sering ditidurkannya dengan membaca shalawat. Iman suka membantunya memasak di dapur. Syukur banyak menghabiskan waktunya untuk mengambar. Bergambar adalah hobinya sejak kecil. Banyak karya yang bisa ia hasilkan dan pamerkan dengan nilai yang tinggi.
            Setiap Aryo pulang dari Jakarta, tidak ada keinginan lain selain perlengkapan menggambar untuk dijadikan bahannya bermain-main. Lastri sering tersenyum melihat tingkah Syukur yang pintar dalam membuat pola-pola gambar yang bagus dan unik. Bila anak-anak seusianya banyak bermain di kali atau di sawah, Syukur lebih memilih menyendiri dan terkadang duduk di dekat adik bungsunnya untuk meneruskan bakatnya yang tak tanggung-tanggung itu. Kehebatan menggambar menghartarkannya menjadi juara utama dalam nasional saat ia duduk di bangku sekolah menengah pertama kelas dua.
            Namun, setelah dua bulan membawa piala, terdengar kabar bahwa sang ayah harus di rawat di rumah sakit dan akhirnya meninggal karena sedikitnya biaya untuk berobat. Sejak kehilangaan Aryo, Syukur jadi anak yang keras. Lastri sering mendapat panggilan sekolah karena ulahnya.
            Pernah suatu ketika, Syukur duduk di bawah pohon belakang sekolah. Seorang anak laki-laki dan kedua temannya memanggil Aryo dengan ucapan sinis hingga membuatnya marah besar.
            “Hei anak bodoh, mana bakat kunomu. Lihatlah wajahmu seperti orang gila dan sangat lusuh.” Aryo diam dan tidak menggubris. Namun hatinya merasa tersinggung tapi ia tak ingin mencari masalah.
            “Hei anak yatim. Ayahmu mana? Udah mati ya? Makanya jangan jadi orang miskin. Jadinya kamu ditinggal bapakmu yang penyakitan itu. Hahahaha” Anak tersebut bersama teman-temannya tertawa sambil memegang kedua pinggulnya dengan wajah angkuh.
            Diam-diam Syukur mengenggam tangannya dengan keras. Hatinya mulai panas membara. Sedangkan anak-anak rusuh itu masih menertawainya. Sebuah batu besar tepat dihadapannya. Ia tatap batu itu dengan murka dan langsung brakkkkk mengenai wajah anak itu satu-persatu. Langsung saja ketiganya menjerit sambil memegang kepalanya yang membiru dan benjol. Syukur masih duduk dengan emosi yang sudah lagi tidak terkendali. Ia sama sekali tidak berpikir tentang apa yang akan menimpanya nanti. Syukur benar-benar berubah dan membuat Lastri kesusahan setiap kali menghadapinya. Sebuah surat tiba-tiba datang dari Suparno anak tetangganya, lalu diserahkaan kepada Lastri yang sedang menyapu halaman.
            Lastri membaca surat itu dengan cepat. Awalnya ia berwajah biasa. Tapi, lama-lama surat itu membuat hatinya lemah. Ia tak menyangka bahwa itu adalah surat ketiga kalinya atas perbuatan Syukur mengeroyoki teman-teman sekolahnya. Ia menghela nafas panjang. Memegang dadanya. Menatap sedih bunga-bunga yang baru saja disiramnya.
            “Baru pulang Syukur?” Lastri bertanya dengan lembut. Namun jawaban yang diterimanya hanya diam dan wajah yang tidak menyenangkan dari Syukur.
            “Apa yang kamu lakukan nak? Apa kamu berbuat masalah lagi.” Syukur terdiam dan menunduk.
            “Mengapa kamu berubah nak?” Tanyanya sambil menangis.
            “Syukur jawab ibu nak?” Desaknya.
            Syukur menatap sejenak wajah ibunya. Syukur tak berani menjawab, ia tidak tega melihat wajah Lastri yang sedih dan seperti menahan amarah padanya. Ia tahu. Bahwa Lastri sedang mencoba kuat dan sabar. Daripada Syukur semakin sedih dan bisa membuatnya naik darah, ia pun melemparkan tasnya ke lantai dan berlari ke luar rumah dengan melewati perkebunan teh dan menuju sebuah bukit, tempatnya dan Aryo sering menghabiskan waktu untuk menemaninya menggambar.
            Aryo semakin mengeram dan wajahnya benar-benar terlihat marah. Ia tidak tahan lalu berteriak memanggil “ Ayah.....”
***
            “Woi serahkan semua uang kalian. Jangan berpura-pura bodoh.” Ucap seorang pria bertubuh kekar berambut gondrong.
            “Serahkan uang tempat kalian pangkal di sini. Atau aku dan anak buahku takkan memberi ampun.” Ucapnya dengan wajah kasar.
            “Bos ada Pak Tarjo. Kita sambat bos. Diakan udah tiga hari ngak bayar.”
            Pria bertubuh kekar itu memandang sinis ke arah pria tua yang sedang menunduk seperti ketakutan.
            “Woi pria tua. Pura-pura lupa kau sama aku. Yah.” Ucapnya sambil menunjuk-nunjuk ke hidung pria tua itu.
            “Nak tolong bapak. Bapak ngak punya uang. Dagangan sepi. Susana lagi krisis.”
            “Apa urusan gue. Lo tugasnya Cuma bayar uang gue atau ngak hancur semua usaha butut lo ini.”
            “Nak Syukur. Kasihani bapak. Cucu bapak kelaparan di rumah.” Ucapnya merintih.
            “Dasar tua bangka. Hancurkan barang-barangnya.” Pria berwajah jahat itu meminta anak buahnya untuk mengobrak-abrik sayur-sayur pria tua itu. Benar saja, dalam sekejab semuanya berantakan.
            Sejak Lastri membawanya ke kota. Syukur benar-benar tidak bisa diatur lagi. seminggu hingga dua bulan ia masih bisa berdiam diri di rumah. Beberapa sekolah sudah didaftarkan untuknya, tapi ia memilih bolos dan pergi entah ke mana. Kerasnya ibu kota telah membawanya menjadi orang yang kasar dan apatis dengan siapapun. Lastri sedih melihat putranya, belum lagi Jannah yang harus terus-menerus di rawat. Hingga pada suatu hari, Jannah dinyatakan sembuh dan dapat menjalani aktivitas dengan normal. Pekerjaan Lastri sebagai tukang cuci di toko Laundry tidak cukup untuk hidup di Jakarta. Ia berinisiatif untuk pindah ke kampung halaman. Mungkin, dengan memindahkan Syukur dapat merubahnya lebih baik dengan suasana desa tempat masa kecilnya
            Namun respon Syukur hanya kehampaan pada Lastri dan adik-adiknya.
            “Aku sudah senang tinggal di sini buk.”
            “Ikutlah dengan ibu. Kita akan membuka usaha yang lebih baik lagi di sana.”
            “Tidak ibu. Pulanglah, aku dan temanku akan merantau jauh. Aku sudah sangat benci dengan kehidupan melarat ini.”
            Lastri hanya diam. Ia sejujurnya gundah dan ingin menentang keputusan Syukur. Tapi, mungkin ini jalan hidup anaknya. Hari itu juga, Lastri pamit dan menasehati Syukur untuk terus berada pada jalan kebenaran.
***
            “Bos, sepertinya memang harus balik kampung. Kondisi Jakarta makin kacau karena virus ini. Nanti kalau kita tertular gimana?”
            “Aku ngak takut. Virus bangsat itu tidak akan berani menyentuhku. Kenapa kau takut Boy?”
            “Eh bukan gitu bang. Ibu saya sudah cemas sama saya. Ia ingin saya balik kampung.”
            Mendengar kata-kata ibu, Syukur teringat dengan Lastri yang sudah meninggalkannya selama 12 tahun. Entah bagaimana kabar keluarganya sekarang. Pikirannya melayang pada Iman dan Jannah. Tidak berselang lama Boy pamit disusul temannya untuk bersiap-siap.
            Kota Jakarta semakin sepi. Pasar-pasar tradisional sedang tidak beroperasi. Di sebuah kontrakan kecil, Syukur merasakan tubuhnya mengigil dan batuknya semakin parah. Ia hanya terbaring di kasur lusuh dengan perut keroncong selama dua hari. Terdengar serune ambulan melintas di depan rumahnya. Syukur segera keluar dan berusaha keras untuk memberhentikan mobil itu. Seorang anak muda turun dengan baju pelindung. Syukur segera menghampiri namun ia tiba-tiba pingsan dan saat matanya di buka sudah di rumah sakit. Syukur sakit parah akibat tertular virus corona.
            Ia melihat ruangan tempatnya dirawat. Seorang dokter mendatanginya dengan baju pelindung.
            “Apakah kamu Syukur?” Tanya dokter itu lembut.
            “Apa urusannya bertanya nama gue. Kan sudah terpampang di buku yang Loe pegang.” Ucapnya kasar berwajah sinis.
            “Sa..sa..ya Iman. Adik abang” Ucapnya dengan nada serak, lalu penutup mulut yang dikenakannya terlihat basah seperti tersiram butiran air yang mulai menetes di bola matanya.
“ Abang ke mana aja selama ini. Ibu selalu teringat sama abang. Kami sudah putus asa untuk mencari.” Lanjtnya. Suaranya semakin terdengar serak dan ia membuka seluruh benda yang menutupi wajahnya.
            Melihat wajah dokter itu, Syukur menerawang seluruh parasnya sambil menyipitkan mata. Syukur tercengang dan matanya merah. Ia menganga, lalu kedua manusia itu dibanjiri air mata.