RUANG PUTIH
Damay Ar-Rahman
Sebuah
televisi berukuran besar memperlihatkan seorang wanita berambut panjang sedang
membawa berita utama. Televisi itu
terletak di atas tiang dekat ruang dokter spesialis. Seorang wanita
mengelus-elus bayinya yang tertidur pulas di gendongannya. Wanita itu melihat
layar televisi, sesekali Ia juga menatap awan putih yang cerah disertai asap-asap
polusi yang mengepul di udara. Wajahnya termenung menatap sederet awan yang
perlahan-lahan mulai bersatu dan membentuk gumpalan putih yang tebal. Tapi ada
yang risih di benaknya. Matanya yang tadinya sayu menatap datar ke luar
jendela, seketika dibuat terkejut dengan mengingat mendiang seseorang yang amat
dicintainya.
Hatinya membatin, “Sampai kapan kota
ini akan pulih dari pencemaran udara. Gara-gara udara kotor itu, anakku menjadi
yatim.” Lagi-lagi ia pasrah dengan kondisi.
“Sulastri Pratiwi.” Seorang suster
memanggil namanya. Lastri bangun dari tempat duduknya dan segera membawa bayinya untuk diperiksa.
Lastri melewati orang-orang yang
duduk berjejer. Beberapa di antara mereka memperhatikan Lastri dan anaknya.
“Bagaimana dokter dengan anak saya?”
“Gini buk, kondisi Jannah semakin
parah, sepertinya Ibu harus tinggal di Jakarta untuk sementara. Soalnya Jannah
harus menerima perawatan dari kami. Jika tidak kemungkinan besar tumor Jannah
tidak akan hilang, tubuhnya akan semakin memburuk.” Dokter menyampaikan dengan
wajah berduka.
“Ya Allah, cobaan apa lagi ini. Suamiku
baru aja meninggal. Jika nanti aku tinggalkan kampung bagaimana kedua anakku yang
sekarang entah sedang apa.” Ucapnya pelan.
“Dokter apakah tidak ada jalan
lain.” Sambungnya lagi.
“Maaf bu, ini keputusan terakhir.”
Sang dokter menarik nafasnya secara pelan.
“Baik dokter, saya akan berusaha
yang terbaik buat Jannah. Terimakasih dokter, berarti besok jam berapa saya
kembali?”
“Jam 10.” Ucapnya singkat, sambil
melirik jam dinding dihadapannya.
“Baik Dokter. Saya pamit.” Ucap
Sulastri sambil tersenyum getir.
Lastri membuka pintu ruang dokter
sambil berpikir. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Kemungkinan kedua anaknya
yang ditinggalkan di kampung itu harus dibawanya juga ke Jakarta. Sanak saudara
di kampung sudah pada meninggal dan beberapa ke luar negeri bekerja.Wanita yang
baru saja ditinggal suaminya lima bulan lalu itu, terpaksa harus pergi ke kota
besar untuk membawa anak bungsunya berobat sekaligus mengambil uang ansuransi
kematian suaminya Aryo. Aryo menderita penyakit radang paru-paru sejak kepergiannya
ke Jakarta tiga tahun lalu. Ia bekerja sebagai pengangkut sampah. Aryo seorang
pemuda lulusan SMP menikahi kembang desa yaitu Lastri lulusan SMA. Mereka
dikarunia dua orang putra dan satu orang putri. Syukur sebagai anak pertama, adik keduanya
Iman, dan terakhir Jannah.
Lastri sebagai seorang istri selalu
bersikeras merawat anaknya dengan baik. Walaupun ia tidak bersekolah tinggi. Lastri
rajin mengunjungi perpustakaan di kampugnya, seminggu ia meminjam lima buku,
dan dibaca setelah menyelesaikan tugasnya mengurus anak dan rumah. Buku-buku
itu habis di bacanya, terutama buku-buku cerita atau novel untuk menambah
motivasi yang akan diceritakannya pada anak-anaknya sebelum tidur. Ia juga
mengajarkan ilmu agama pada anak-anaknya. Si kecil Jannah sering ditidurkannya
dengan membaca shalawat. Iman suka membantunya memasak di dapur. Syukur banyak
menghabiskan waktunya untuk mengambar. Bergambar adalah hobinya sejak kecil. Banyak
karya yang bisa ia hasilkan dan pamerkan dengan nilai yang tinggi.
Setiap Aryo pulang dari Jakarta,
tidak ada keinginan lain selain perlengkapan menggambar untuk dijadikan
bahannya bermain-main. Lastri sering tersenyum melihat tingkah Syukur yang
pintar dalam membuat pola-pola gambar yang bagus dan unik. Bila anak-anak
seusianya banyak bermain di kali atau di sawah, Syukur lebih memilih menyendiri
dan terkadang duduk di dekat adik bungsunnya untuk meneruskan bakatnya yang tak
tanggung-tanggung itu. Kehebatan menggambar menghartarkannya menjadi juara
utama dalam nasional saat ia duduk di bangku sekolah menengah pertama kelas dua.
Namun, setelah dua bulan membawa piala,
terdengar kabar bahwa sang ayah harus di rawat di rumah sakit dan akhirnya
meninggal karena sedikitnya biaya untuk berobat. Sejak kehilangaan Aryo, Syukur
jadi anak yang keras. Lastri sering mendapat panggilan sekolah karena ulahnya.
Pernah suatu ketika, Syukur duduk di
bawah pohon belakang sekolah. Seorang anak laki-laki dan kedua temannya
memanggil Aryo dengan ucapan sinis hingga membuatnya marah besar.
“Hei anak bodoh, mana bakat kunomu.
Lihatlah wajahmu seperti orang gila dan sangat lusuh.” Aryo diam dan tidak
menggubris. Namun hatinya merasa tersinggung tapi ia tak ingin mencari masalah.
“Hei anak yatim. Ayahmu mana? Udah
mati ya? Makanya jangan jadi orang miskin. Jadinya kamu ditinggal bapakmu yang
penyakitan itu. Hahahaha” Anak tersebut bersama teman-temannya tertawa sambil
memegang kedua pinggulnya dengan wajah angkuh.
Diam-diam Syukur mengenggam
tangannya dengan keras. Hatinya mulai panas membara. Sedangkan anak-anak rusuh
itu masih menertawainya. Sebuah batu besar tepat dihadapannya. Ia tatap batu
itu dengan murka dan langsung brakkkkk mengenai wajah anak itu satu-persatu.
Langsung saja ketiganya menjerit sambil memegang kepalanya yang membiru dan
benjol. Syukur masih duduk dengan emosi yang sudah lagi tidak terkendali. Ia
sama sekali tidak berpikir tentang apa yang akan menimpanya nanti. Syukur
benar-benar berubah dan membuat Lastri kesusahan setiap kali menghadapinya.
Sebuah surat tiba-tiba datang dari Suparno anak tetangganya, lalu diserahkaan
kepada Lastri yang sedang menyapu halaman.
Lastri membaca surat itu dengan
cepat. Awalnya ia berwajah biasa. Tapi, lama-lama surat itu membuat hatinya
lemah. Ia tak menyangka bahwa itu adalah surat ketiga kalinya atas perbuatan
Syukur mengeroyoki teman-teman sekolahnya. Ia menghela nafas panjang. Memegang
dadanya. Menatap sedih bunga-bunga yang baru saja disiramnya.
“Baru pulang Syukur?” Lastri
bertanya dengan lembut. Namun jawaban yang diterimanya hanya diam dan wajah
yang tidak menyenangkan dari Syukur.
“Apa yang kamu lakukan nak? Apa kamu
berbuat masalah lagi.” Syukur terdiam dan menunduk.
“Mengapa kamu berubah nak?” Tanyanya
sambil menangis.
“Syukur jawab ibu nak?” Desaknya.
Syukur menatap sejenak wajah ibunya.
Syukur tak berani menjawab, ia tidak tega melihat wajah Lastri yang sedih dan
seperti menahan amarah padanya. Ia tahu. Bahwa Lastri sedang mencoba kuat dan
sabar. Daripada Syukur semakin sedih dan bisa membuatnya naik darah, ia pun
melemparkan tasnya ke lantai dan berlari ke luar rumah dengan melewati perkebunan
teh dan menuju sebuah bukit, tempatnya dan Aryo sering menghabiskan waktu untuk
menemaninya menggambar.
Aryo semakin mengeram dan wajahnya
benar-benar terlihat marah. Ia tidak tahan lalu berteriak memanggil “ Ayah.....”
***
“Woi serahkan semua uang kalian.
Jangan berpura-pura bodoh.” Ucap seorang pria bertubuh kekar berambut gondrong.
“Serahkan uang tempat kalian pangkal
di sini. Atau aku dan anak buahku takkan memberi ampun.” Ucapnya dengan wajah
kasar.
“Bos ada Pak Tarjo. Kita sambat bos.
Diakan udah tiga hari ngak bayar.”
Pria bertubuh kekar itu memandang
sinis ke arah pria tua yang sedang menunduk seperti ketakutan.
“Woi pria tua. Pura-pura lupa kau
sama aku. Yah.” Ucapnya sambil menunjuk-nunjuk ke hidung pria tua itu.
“Nak tolong bapak. Bapak ngak punya
uang. Dagangan sepi. Susana lagi krisis.”
“Apa urusan gue. Lo tugasnya Cuma
bayar uang gue atau ngak hancur semua usaha butut lo ini.”
“Nak Syukur. Kasihani bapak. Cucu
bapak kelaparan di rumah.” Ucapnya merintih.
“Dasar tua bangka. Hancurkan
barang-barangnya.” Pria berwajah jahat itu meminta anak buahnya untuk mengobrak-abrik
sayur-sayur pria tua itu. Benar saja, dalam sekejab semuanya berantakan.
Sejak Lastri membawanya ke kota. Syukur
benar-benar tidak bisa diatur lagi. seminggu hingga dua bulan ia masih bisa berdiam
diri di rumah. Beberapa sekolah sudah didaftarkan untuknya, tapi ia memilih
bolos dan pergi entah ke mana. Kerasnya ibu kota telah membawanya menjadi orang
yang kasar dan apatis dengan siapapun. Lastri sedih melihat putranya, belum
lagi Jannah yang harus terus-menerus di rawat. Hingga pada suatu hari, Jannah
dinyatakan sembuh dan dapat menjalani aktivitas dengan normal. Pekerjaan Lastri
sebagai tukang cuci di toko Laundry tidak cukup untuk hidup di Jakarta. Ia
berinisiatif untuk pindah ke kampung halaman. Mungkin, dengan memindahkan Syukur
dapat merubahnya lebih baik dengan suasana desa tempat masa kecilnya
Namun respon Syukur hanya kehampaan
pada Lastri dan adik-adiknya.
“Aku sudah senang tinggal di sini
buk.”
“Ikutlah dengan ibu. Kita akan
membuka usaha yang lebih baik lagi di sana.”
“Tidak ibu. Pulanglah, aku dan
temanku akan merantau jauh. Aku sudah sangat benci dengan kehidupan melarat
ini.”
Lastri hanya diam. Ia sejujurnya gundah
dan ingin menentang keputusan Syukur. Tapi, mungkin ini jalan hidup anaknya. Hari
itu juga, Lastri pamit dan menasehati Syukur untuk terus berada pada jalan
kebenaran.
***
“Bos, sepertinya memang harus balik
kampung. Kondisi Jakarta makin kacau karena virus ini. Nanti kalau kita
tertular gimana?”
“Aku ngak takut. Virus bangsat itu
tidak akan berani menyentuhku. Kenapa kau takut Boy?”
“Eh bukan gitu bang. Ibu saya sudah
cemas sama saya. Ia ingin saya balik kampung.”
Mendengar kata-kata ibu, Syukur
teringat dengan Lastri yang sudah meninggalkannya selama 12 tahun. Entah bagaimana
kabar keluarganya sekarang. Pikirannya melayang pada Iman dan Jannah. Tidak
berselang lama Boy pamit disusul temannya untuk bersiap-siap.
Kota Jakarta semakin sepi.
Pasar-pasar tradisional sedang tidak beroperasi. Di sebuah kontrakan kecil, Syukur
merasakan tubuhnya mengigil dan batuknya semakin parah. Ia hanya terbaring di
kasur lusuh dengan perut keroncong selama dua hari. Terdengar serune ambulan
melintas di depan rumahnya. Syukur segera keluar dan berusaha keras untuk
memberhentikan mobil itu. Seorang anak muda turun dengan baju pelindung. Syukur
segera menghampiri namun ia tiba-tiba pingsan dan saat matanya di buka sudah di
rumah sakit. Syukur sakit parah akibat tertular virus corona.
Ia melihat ruangan tempatnya dirawat.
Seorang dokter mendatanginya dengan baju pelindung.
“Apakah kamu Syukur?” Tanya dokter
itu lembut.
“Apa urusannya bertanya nama gue.
Kan sudah terpampang di buku yang Loe pegang.” Ucapnya kasar berwajah sinis.
“Sa..sa..ya Iman. Adik abang”
Ucapnya dengan nada serak, lalu penutup mulut yang dikenakannya terlihat basah
seperti tersiram butiran air yang mulai menetes di bola matanya.
“
Abang ke mana aja selama ini. Ibu selalu teringat sama abang. Kami sudah putus
asa untuk mencari.” Lanjtnya. Suaranya semakin terdengar serak dan ia membuka
seluruh benda yang menutupi wajahnya.
Melihat wajah dokter itu, Syukur
menerawang seluruh parasnya sambil menyipitkan mata. Syukur tercengang dan
matanya merah. Ia menganga, lalu kedua manusia itu dibanjiri air mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar