Selasa, 22 Oktober 2019


Puisi-puisi Damay Ar-Rahman

KERTAS DAN CORETAN


Diruang ini aku menanti
Namun gemerisik yang membuli
Di penjabaran aksara-aksara kertas putih
Kutuntun untuk memperjelas maksud hati dan pikiran
Yang sudah habis terkikis pada konflik yang sama

Kedatanganku membawa harapan
Agar terungkap makna akan penyelesaian urusan
Sudah banyak tinta-tinda kuganti dengan baru
Begitupun kulitnya yang suci tak terkotori

Bila dikatakan kuat, itu tak bisa terhitung lagi
Segala nasib hanya diri yang mengalami
Mendengar frasa-frasa surga namun menggeser nurani
Merasakannya saja cukup menjadi tekanan yang dingin

Lhokseumawe, Maret 2019



KEDATANGAN


Rinai hujan berjatuhan pagi ini
Yang larut sebelum burung bersiul
Berdesah angin-angin menyahut
Diiringi suara yang menyapa lewat celah jendela
Untuk menutupi  waktu yang harus terbangun

Kesayupan aroma udara yang menerobos di atas ubun-ubun
Memberi nuansa untuk bermimpi pergi tanpa kembali
Seperti tangan digenggam erat susah terlepes
Yang berusaha untuk menyembunyikanku dari makan pagi dan siang
Entah sosok apa yang menimpali
Memarahi dari ujung kalbu
Apakah akhir hidup rasanya seperti ini
Tapi sepertinya aku akan kembali

Lhokseumawe, Maret 2019


Sabtu, 05 Oktober 2019

SEBUAH RAHASIA?
Damayanti

            Kumpulan asap menyelimuti dinding sudut kamar. Warna asap itu tidak seperti pada umumnya. Warnanya sedikit merah dan kekuningan. Baunya juga menusuk hingga rongga jantungku, wanginya seperti parfum milik Sasmita. Aku terhuyung melihat sekumpulan asap itu, mataku memar menatapnya yang semakin tebal. Lama-lama ketebalan asap itu sedikit berkabut, perlahan-lahan warna yang muncul sudah tak seseram awal kulihat tadi. Warna itu indah, seperti pelangi yang menghiasi langit ketika hujan reda sembilan belas hari yang lalu. Tetapi aku masih takut tak berani mendekati. Langkah kakiku gentar. Bibirku terkatup bisu. Bola mataku masih layu bak daun kering terlibas hujan deras, terus perih menyayat retina yang sudah berminggu-minggu terus mengalir butiran air matanya. Apalagi ditambah kejadian yang tak kutahu apa maksudnya.
            Aku menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan. Asap itu tak pudar dan terus menyesaki dada, hanya saja aku terheran akan warna yang berubah bersinar terang. Lalu mataku tak sengaja melihat kedua kaki yang berjalan akan menghampiriku. Kedua kaki itu bersih tanpa alas apapun. Aku memberanikan diri membuka mata. Sakit ku acuhkan, sedikit demi sedikit ku coba melihat. Dan aku tercengang, itulah orang yang membuatku seperti disiksa di dunia karena kehilangan. Aku berteriak ingin meraihnya, tetapi semakin menjauh dan tiba-tiba semua gelap.
            Aku bangun tersentak, langit-langit kamar terlihat tak terjadi apa-apa. Aku bernafas kencang, sekujur tubuhku berkeringat, mengingat tadi aku telah mengalami mimpi yang tak kuinginkan.
            “Ekhmmm”. Sebuah suara terdengar dekat ditelingaku. Awalnya aku mengira hanya suara tak jelas saja.  Tapi. “Ekhmm..,” suara itu datang lagi. Aku memutar bola mataku di setiap sudut kamar, dan seorang lelaki berjubah besar dengan rambut panjang sebahu berdiri dekat jendela sebelah kiri kamarku.
            “Siapa kamu.” Aku bertanya heran, “mengapa kamu ada dikamarku? Sedang apa kamu disini?”
            “Hai apa kabarmu nak. Senang bertemu denganmu.” Ia berkata sambil tersenyum hangat padaku.
            “Kamu siapa?” Tanyaku lagi dengan tatapan tajam padanya.
            “Perkenalkan anak muda, namaku Angin, aku ingin berbicara singkat padamu. Bolehkah aku duduk disampingmu?”
            Aku terdiam masih bingung menatapnya.
            “Bolehkan aku duduk disampingmu?” Tanyanya lagi.
            “Baiklah.” Jawabku singkat.
            “Kau terlihat lebih kurus dari dua bulan yang lalu, rambut tebalmu terlihat kotor dan wajahmu kusam. Kamar ini juga terlihat berantakan dan bau kotoran.”
            “Apa? “Jawabku pelan yang terus heran melihatnya.
            “Hahahahaha, mengapa kau menatapku dengan tidak sopan. Aku ini lebih tua darimu. Tenanglah.”
            Aku terus bisu dengan pernyataannya itu. Sepatahpun tidak kujawab.
            “Namamu Hans kan? Nama yang sangat dikagumi oleh banyak wanita bukan. Dan kau jatuh cinta satu diantaranya.”
            “Maksudmu apa?” Aku tak menduga pria tua ini akan bercerita apa.
            “Sasmita. Wanita yang amat kau cintai itu. Wanita cantik dengan rambut panjang yang sering kau belai bukan? Wanita yang akan kau janjikan surga cinta?”
            “Maaf, saya tidak ingin berdebat dengan Anda. Anda tidak saya kenali, dan tiba-tiba ada di kamar ini. Tolong bila tak ada yang penting, Anda bisa meninggalkan saya disini, atau Anda akan menyesal karena melihat sebuah kejadian buruk sesaat lagi, dan Anda akan dituduh melakukannya.” Aku berbicara sedikit tegas padanya.
            “Hahahahaha bukan aku yang menyesal, tapi kau yang menyesal karena menyuruhku pergi.” Dia memukul pundakku.
            “Apa maksud Anda? Anda siapa?”
            “Hans, di pertengahan malam ini, marilah kuajak kau menikmati warna-warna yang kau suka, pemandangan-pemandangan indah, dan sebuah RAHASIA.” Dia berkata serius, dan matanya terlihat meyakinkan.
            “Rahasia? Malam-malam begini? Tidak! Aku tetapi disini, dan mereka telah salah. Merekalah penyebabnya.”
            “Tenanglah, kau tetap disini.”
            “Disini?”
            “Iya.”
            Tiba-tiba pria itu memegang tanganku dan mengacungkannya dihadapan sebuah cahaya yang besar menyelimuti isi kamar. Aku terkejut, menatap takut.
            “Aku benci cahaya. Jangan datangkan cahaya dikamar ini.” Aku berteriak karena cahaya itu. Lalu mataku berair karena perih, dan lagi-lagi aku menutupnya dengan kedua telapak tanganku.
***
            Langit bercahaya terang. Dedaunan menguning keemasan. Angin bertiup halus menerpa wajah-wajah pejalan kaki di taman bunga kota. Pagi ini aku tak sedikitpun telat untuk menemui kekasih yang akan kuhadiahkan sebuah janji masa depan.
            “Hans.” Suara lembut terdengar tak jauh dari telingaku.
            Aku membalikkan badan dan tersenyum menatapnya. Wajah itu terlalu indah untuk kulepaskan dari retinaku. Pagi masih bersahabat, dan Sasmita semakin jelita karena matahari pagi yang tak sedikitpun berkurang akan cahayanya yang menyinari wajahnya.
            “Sayang, aku akan menikahimu. Pergilah bersamaku ke rumah. Akan aku katakan pada ayah dan ibu, untuk menjadikanmu ibu dari anak-anakku.”
            Sasmita tetap memamerkan senyuman manisnya, tetapi tiba-tiba garis bibir dan wajah indah itu berubah masam.
            “Sasmita, apakah kau mau menjadi istriku?”
            Ia masih terdiam tak berucap sepatahpun.
            “Sasmita, apakah kau tak mau menerima pinanganku?”
            “Ah bukan...bukan.....”
            “Maksudmu?”
            “Iya aku mau Hans. Aku mau.”
            Aku tersenyum lebar. Menatapnya berbinar-binar. Lihatlah, langitpun turut berbahagia, malah matahari semakin indah menyelimuti wajah Sasmita. Aku memeluknya. Memegang kedua pipinya.
            “Terimakasih sayang.”
            Seusai kata itu ku ucapkan, aku segera membawanya ke rumah. Dia masuk ke mobil dan tak lepas mengenggam tanganku.
            Aku menggedor pintu. Bibi membukanya. Kulihat ibu sedang merajut seperti biasa, dan ayah di belakang membaca koran.
            “Ibu, lihat siapa yang kubawa.”
            Ibu melihat Sasmita dengan senang, dan menyuruhnya duduk. Akupun memanggil ayah untuk segera duduk di kursi tamu. Samita menyalami ayah dan duduk disampingku.
            Seharusnya pagi ini lengkap dengan kesempurnaan cinta kami. Tetapi entah mengapa tiba-tiba langit gelap dan petir menyambar keras terasa di rumahku. Hatiku beku mendengar ucapan ayah menolak pernikahanku dengan Sasmita. Aku tak mengerti, mengapa ayah tega menolak permintaanku. Selama ini aku tak pernah meminta yang tinggi apapun itu. Kecuali cinta ini yang ku dambakan selama tujuh tahun.
            “Aku tak mengerti, mengapa ayah memperlakukan cinta kami seperti ini.”
            “Kau tak mengerti Hans.” Ucap Ayah.
            Pokoknya biar sekalipun nyawaku taruhannya, aku tetap menikahi Sasmita. Titik.
            Aku menarik lengan Sasmita dan membawanya keluar untuk menenangkan hatinya yang terluka atas kejadian tadi.
***
            “Indah Bukan, tetapi sayang berakhir nestapa.” Pria itu mengucapkannya dengan sendu.
            “Mengapa Anda tampakkan itu padaku.”
            “Agar kau tahu yang sebenarnya Hans.”
            “Tahu apanya, semua sudah cukup. Sasmita sudah pergi selamanya. Ia bunuh diri karena tidak bisa menikah denganku. Buat apa aku hidup. Tidak ada guna, semuanya sampah. Dan akulah sampah itu. Sampah yang harus dibakar.”
            Aku menangis, meronta dan melempar bantal ke dinding. Pria itu masih duduk disampingku dan wajahnya terlihat biasa. Seakan-akan aku yang disampingnya sama tenangnnya. Pria itu malah melipat tangannya. Menatapku yang terus mengacak rambut seperti orang kehilangan akal. Aku berlari menuju jendela kamar. Aku akan melompat agar bertemu Sasmita. Saat tingkap jendela kubuka, pinggangku seperti ditarik, dan aku terhempas ke tempat tidur. Pria itu berdiri, lalu menutup mataku dengan tangan kanannya.
            “Sasmita, yakinlah. Cinta kita abadi. Aku akan terus bersamamu kapanpun hingga maut menjemput. Berjanjilah untuk menemuiku di taman ini besok pagi jam lima. Kita akan pergi untuk menikah di tempat sahabatku Fandi.”
            Sasmita tersenyum dan mengangguk. Rambut lurusnya terbang oleh sepoi angin. Aku kembali memeluknya. Sasmita dan aku akan mempersiapkan diri dan pergi sejauh mungkin.
            “Itu salah. Aku melihat itu tidak ada. Jangan diputarkan kembali. aku mohon!”
            “Tenanglah. Coba kau lihat lagi Hans. Ini tinggal sedikit lagi. Rahasia itu akan membuatmu sadar semuanya. Aku menjamin setelah ini aku akan pergi darimu.” Pria tua itu kembali menyuruhku untuk melihat semuanya.
            Sudah lebih tiga jam aku menunggu Sasmita. Tapi ia belum muncul juga. Apa jangan-jangan terjadi apa-apa dengannya. Tidak. Aku tak boleh berpikir buruk. Bisa jadi ia sedang di jalan. Aku mondar-mandir sedari tadi. Tidak berhenti berharap. Ku yakin Sasmita datang. Kartu teleponku sudah kuganti begitupun dengannya. Jadi bagaimana bisa aku menghubunginya. Aku terus berbicara sendiri dalam hati. Menunduk melihat rumput dibawah.
            Jembatan besar kota tidak terlalu ramai dilewati. Saat itu memang masih sangat pagi sekali. Sasmita dengan gaun putih anggunya berjalan lemas. Matanya kosong dan rambutnya terurai di belai angin. Tangannya mengenggam setangkai mawar merah. Tapi merah itu juga mewarnai tangan putihnya. Perlahan-lahan mata kosong itu menderaikan air mata. Sasmita semakin terlihat seperti orang tak bernyawa. Lalu ia berdiri tepat ditengah jembatan, menatap lurus dan langit mulai memudar cerah.
            “Maafkan aku Hans, aku sangat mencintaimu. Aku ingin pergi bersamamu. Tapi aku takut. Aku takut sekali membuatmu sakit dan menyesal melakukannya. Kau akan meninggalkan keluarga yang sangat menyayangimu dibandingkan aku yang tidak ada apa-apanya. Aku salah telah membuatmu jatuh cinta padaku. Aku salah dan sangat salah telah mengkhianati cintamu. Sepucuk surat yang aku titipkan di bawah pohon taman itu kuharap membuatmu mengerti. Selamat tinggal Hans, semoga kau bahagia.”
            Sasmita menjatuhkan tubuhnya ke bawah jembatan. Pagi itu ia pergi untuk selamanya. Meninggalkan Hans yang menunggu. Hingga akhirnya kematian Sasmita membawanya pada penderitaan.
            “Sasmitaaaaa.” Aku menjerit memanggil namanya yang sudah terlanjur jatuh di sungai deras.
            “Hai Hans, itu sudah lalu. Jangan kau seperti ini. Cobalah kau cerna perkataan Sasmita. Ia merasa takut, bukan karena orangtuamu. Apakah kau mendengar apa yang dikatakannya? Ia sangat takut akan sesuatu, hingga ia harus membunuh dirinya. Dan ia juga mengirim surat padamu. Tapi kau pergi dan tak sempat membacanya.” Pria itu mengatakan dengan tegas padaku.
            “Aku tak pernah tahu.” Aku menjwab pelan dan bingung.
            “Surat itu tepat dibawah pohon cinta kalian. Dan kau tahu isi surat itu?”
            “Apa?”
            “Kau harus bisa menerima kenyataan. Bahwa Sasmita telah mengandung anak dari sahabatmu sendiri. Karena cintanya telah dibagi sejak kau kerja di luar negeri satu tahun yang lalu. Baiklah, kurasa waktuku telah habis, selamat tinggal nak. Jangan siakan hidupmu” Pria itupun pergi.
           


SANG LELAH
Damay Ar-Rahman


Kertas putih tlah tak suci
Tercemar oleh goresan-goresan
Menampar mesin-mesin penghasil huruf yang berderetan
Sehingga menjadi retorika yang dianggap sampah manusia
Suara pencekik terus membayar
Dagu ini sudah bosan menunggu ditindih
Mata menatap dengan penuh misteri
Pikiran berbual pada pengharapan tak bertepi
Menjadi ilusi yang datang dan pergi

Jemari sudah mulai meronta
“Kau habiskanlah aku, maka kaupun habis”
Maafkanlah, mau bagaimana lagi
Setelah jemari, maka mata memaki
“Kau gelapkanlah aku, maka gelaplah hidupmu”
Maafkanlah,  mau gimana lagi
Itulah jawaban atas demonstrasi mereka
Aku hanya bisa sedikit berjanji tentang akhir ini
Tapi, aku besar berkutat aku takkan berhenti
Karena ku yakin, langit berbesar hati




MEREKA HANYA MENONTON

Seperti keledai!
Yang diperbudak
Yang dipermainkan
Yang diinjak-injak bagai bangkai
Dipertontonkan oleh hati berbatu
Seperti tawa-tawa iblis yang menang merayu
Orang-orang yang bertepuk tangan
Memandang jijik pada wajah tak berdosa  dari atas kaca badai rupiah
Kesalahan memilih bukan lagi cerita
Intinya masa ini memang bodoh?

Apa yang kau mau?
Sebenarnya tak susah
Hanya saja gelap mata
Membuat otak melepuh
Darah membara hingga menulis orasi-orasi penuntut
Suara-suara berkoar
Tapi kau abai
Menguap seakan-akan kasur sedang empuk

Apa mungkin harus mengalah?
Apakah harus menghindar?
Tapi sama saja
Hanya memperburuk tanah perjuangan
Apakah memang ini, kehidupan yang katanya zaman perubahan?


SANG BERJAS NEGERI

Rakyat mengeluarkan orasi
Dibuat bingung para penduduk elit
Yang tahtanya di coblos kartu kredit
Setelah terdebit
Akhirnya lupa diri
Lalu menyombongkan diri, dan mereka berharap menunggu jawaban
Sakitnya bukan main
Menyesal sudah basi
Sekarang menimbulkan asap-asap pembunuhan
Jalanan disesaki manusia berjas sekolah tinggi
Yang di dalam juga keluar
Menuntut keadilan negeri ini
Spanduk-spanduk bertingkat tinggi
Bertuliskan isi hati yang ditakut-takuti
Oleh mereka si pembedah demokrasi



Karya Siswa SDN 20 Pusong Kota Lhokseumawe Aceh


PENTINGNYA MENUNTUT ILMU
Hijrah Humaira

  1. Buah mangga buah jambu
Mangganya manis dan jambunya merah
Marilah kita menuntut ilmu
Agar hidup kita lebih terarah

  1. Di pantai ada banyak pasir
Lautannya biru disertai angin
Selagi muda perbanyaklah belajar
Sebagai bekal di masa depan

  1. Jalan-jalan ke Aceh Tamiang
Berjajar warung-warung kopi
Belajar agama itu sangatlah penting
Agar jalan kita dapat lebih berarti

  1. Malam ini sejuk terasa
            Kunang-kunang terbang bertebaran
            Membaca buku membuka cakrawala
            Agar bertambah ilmu pengetahuan


  1. Buah pepaya buah semangka
Warnanya indah di pandang tak jemu
Kalau ingin keliling dunia
Rajin-rajinlah menuntut ilmu

  1. Adik sedang bermain batu
Batunya di lempar masuk ke sungai
Marilah kita menanam ilmu
Agar kita menjadi pandai

7.         Pulang sekolah makan nasi
Sorenya jalan-jalan ke taman bunga
Kalau ingin menjadi anak berprestasi
Selagi muda banyaklah berkarya

8.        Pergi ke kedai membeli lemang
Tak lupa pula membeli sayur
Bila ingin hidup senang
Rajin-rajinlah dalam belajar





Karya Siswa SDN 20 Banda Sakti Lhokseumawe

RANI DAN SEORANG WANITA
Salsabila

            Pagi itu burung-burung muncul di balik pepohonan, dan matahari terbit dengan sangat cerah. Seorang gadis bernama Rani sedang menikmati matahari pagi di tepi pantai. Menatap lautan biru untuk melenyapkan kegundahan. Namun sayang, gadis itu kini meratapi hidupnya yang malang. Baru saja ia ditinggal mati oleh ayahnya, lalu tak berselang lama ibunyapun ikut menyusul kepergian sang ayah. Ranipun harus menerimanya dengan tegar. Biarpun tanpa sanak saudara disampingnya.
            Di usianya yang masih sembilan tahun, Rani harus banting tulang memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai tukang bersih-bersih dan penjual ikan. Rani bekerja bersama orang yang lebih tua darinya. Pemilik tempat ikan itu sangat rewel, dan suka memarahi Rani. Pemilik ikan itu tidak suka ikan-ikan nya berserakan, dan Rani selalu disalahkan, padahal itu adalah ulah hewan-hewan yang suka mencuri ikan. Tetapi Rani mampu memahaminya, ia tidak menyimpan dendam dan kebencian, biarpun terkadang menangis dan sedih atas penghinaan itu, apalagi sampai-sampai Rani disiram oleh pemilik ikan hingga basah kuyup dan baunya sangat menyengat sampai tubuhnya yang hitam gatal-gatal.
            Walaupun Rani bekerja dari siang hingga menjelang malam, Rani dapat sekolah dengan biaya sendiri. Walaupun demikan, ia tetap belajar bersama ikan-ikan yang ada diranjang, mencari cara belajar seperti menghitungnya untuk pelajaran matematika. Rani juga belajar mengenali ikan-ikan, misalnya ikan tongkol, ikan bandeng, udang, dengan berbagai macam nama lainnya. Sehingga hasil ketekunannyapun, Rani mendapatkan peringkat pertama di sekolah, dan membuat orang-orang ditempatnya berjualan bingung kepada Rani yang selalu juara kelas.
            “Bagaimana ia bisa mendapatkan peringkat satu? Kapan memangnya dia belajar!” Tanya penduduk yang ada disekitar tempat ikan asin itu.
            “Ia belajar dengan ikan-ikan disitu.”  Jawab orang yang biasa menemani Rani dengan tiba-tiba. Suaranya bernada tegas kepada orang-orang yang menatap rendah terhadap Rani. Lalu tak berselang lama, Orang-orang itupun pergi meninggalkan Rani.
             “Hai Rani, kamu memang anak yang berbakat dan rajin.” Ucap orang yang biasa menemani Rani dengan hati penuh kebangaan mencoba menyemangatinya.
            “Terimakasih bu Alhamdulillah.” Jawab Rani sambil tersenyum manis.
            “Iya nak, ibu sangatlah menyayangi kamu seperti anak ibu sendiri.” Ucap orang yang menemani Rani selama tiga bulan terakhir ini.
            “Saya akan berusaha bu. Saya akan berjuang.” Ucap Rani dengan mata yang berkaca-kaca dan ingin mengeluarkan air mata.
            Rani selalu mendapatkan peringkat pertama di sekolahnya. Kekuatannya untuk belajar dengan ikan-ikan yang ada ditempat ia bekerja selalu menjadi kebiasannya. Namun di sisi lain, terkadang gadis kurus itu termenung dan menangis karena rindu pada ayah dan ibunya.
            Hari ini Rani memilih ikan untuk di asinkan. Tiba-tiba mata Rani melihat seorang gadis seumurannya sedang bermain bersama ayah dan ibunya. Mereka bersenang-senang, tertawa bersama-sama menikmati suasana pantai yang indah. Rani sangat merasakan sedih ketika melihat gadis itu menikmati masa kecilnya bersama orang-orang tercinta. Tetes demi tetes rinai mata Rani jatuh membasahi pipi. Tetapi ia berusaha kuat layaknya karang yang dihempas namun tidak pecah. Ia menghapus air matanya dan tersenyum tegar. Lalu ia kembali mengerjakan tugasnya sebagai gadis penjual ikan. Dan mendoakan gadis yang dilihatnya itu agar selalu merasakan kebahagiaan bersama kedua orangtuanya.
            Tiba-tiba wanita yang biasa menemaninya datang, dan melihat Rani yang terlihat sedih.
            “Rani kamu kenapa?”
            “Tidak ada apa-apa, hanya sedikit rindu saja kepada ayah dan ibu yang meninggal buk.” Jawabnya sambil menghela nafas pelan.
            “Ya sudah nak, jangan engkau bersedih lagi, hapuslah air matamu.” Ucap orang yang biasa menemaninya dengan perasaan sedih.
            “Oh iya nak. Ibu mau tanya. Apa cita-citamu nanti.” Ucap wanita itu mengalihkan pembicaraan.
            “Guru buk. Bagiku itu adalah sebuah pekejaan yang mulia.” Jawab Rani dengan perasaan mulai tenang.
            “Wah bagus sekali.”
            “Kareana kesuksessan orang-orang hebat di dunia ini juga berasal dari seorang guru. Tetapi itu bukan hanya sekedar cita-cita saya saja. Tetapi saya juga ingin menjalankan impian almarhumah ibu saya yang  belum sempat tercapai untuk berprofesi menjadi seorang guru.”
            “Ku percaya kau bisa melakukannya dengan kerja kerasmu Rani.” Ucap orang yang biasa menemaninya dengan perasaan bahagia.
            “Ibu berpesan padaku, agar terus belajar sampai akhir hayatku bu. Karena dunia ini begitu luas untuk di jangkau. Tapi setidaknya aku mampu memahami ilmu pengatahuan walaupun tak seberapa. Lalu membagikannya kepada siswa-siswa.” Jawabnya dengan semangat.
            Keesokan harinya, Rani pun menjalani kehidupannya seperti biasa. Pagi ia pergi sekolah, setelah pulang ia pergi menjual ikan. Sudah enam tahun Rani menjalani sekolah Dasar, sekarang ia mulai masuk SMA. Kecerdasan Rani tidak mengeluarkan biaya banyak, karena pihak sekoalah membantu anak sepertinya. Wanita yang menemaninya  juga turut mendukung. Wanita itu membeli sepasang sepatu, tas, baju, dan perlengkapan sekoah seperti pensil, penghapus, buku, dan lainnya. Ranipun menerimanya dengan gembira dan penuh rasa syukur.
            “Nak uang ibu tidaklah cukup untuk membeli yang lainnya. Hanya inilah yang mampu ibu berikan padamu Rani. Memang kecil. Tetapi semoga bermanfaat.” Ucap wanita itu dengan wajah murung.
            “Mengapa ibu menjawab seperti itu. Aku sangat beruntung bisa mendapati seorang ibu sepertimu yang mau mengangkatku menjadi anakmu. Apalagi ibu merelakan uang jerih payah menjual ikan untuk membelikan semua ini. Semoga Allah membalasnya.” Ucap gadis yang sudah berusia 16 tahun itu.
            “Alhamdulillah kalau begitu. Terus semangat dan jangan menyerah ya Rani.” Wanita itu berkata sambil menyiapkan sarapan kepada anak angkatnya itu.
            “Baik bu, Rani pamit dulu. Terima kasih atas sarapannya. Assalamualaikum.” Pamit Rani lalu mencium tangan ibunya.
            “Walaikumsalam Rani.” Jawabnya sambil melambaikan tangan.
            Perlahan-lahan Rani menghilang dari kejauhan. Gadis itu sudah pergi sekolah pagi ini. Wanita yang berhati mulia itu menatapi anak gadis hebat seperti Rani dengan rasa haru. Wanita itu sangat menyayangi Rani sepenuh hatinya. Wanita itu senasib dengan Rani. Hanya saja wanita bernama Soleha itu di hina keluarga karena tak memiliki kedua kaki yang sempurna. Kakinya cacat sejak lahir, setelah berusia lima tahun ia diasingkan ke panti asuhan. Hidupnya penuh kemalangan ditambah ejekan teman-teman di panti. Akirnya wanita yang kini berusia empat puluh sembilan tahun itu melarikan diri tepatnya ke pesisir pantai. Ia bekerja  apa saja, dan yang terpenting bisa mencukupi untuk makan. Wanita itu tidur dengan lesehan tikar rusak yang diambilnya dari tong sampah, iapun berteduh di pondok-pondok warung terkadang dengan belas kasihan orang-orang, saat hujan turun salah satu warga mengizinkannya untuk menumpang sebentar.
***
            Jam dua siang telah tiba. Saat Rani pulang dari sekolahnya, ketika Rani mengetuk pintu dan membukanya, Rani tidak sengaja melihat ibunya solat dan berdoa sambil menangis. Wanita itu berdoa dengan kata-kata yang menggetarkan jiwa Rani.
            “Ya allah jadikan Rani orang yang sukses, wujudkan cita-citanya. Karena waktuku tinggal sebentar lagi.” Sambil terisak-isak memohon pada Allah.
            Rani langsung menghampiri dan menanyakan maksud perkataan ibunya itu.
            “Mengapa engkau berkata seperti itu.” Ucap Rani sambil menangis. Dan wanita itu terkejut.
            “ Iya nak. Karena aku sudah sakit-sakitan.”
            “Tapi sakit apa buk?”
            “TBC nak.”
            “Mengapa ibu tak pernah bilang.”
            “Sudahlah nak itu tak penting, satu-satunya obat untuk menyembuhkanku, adalah dengan melihatmu sukses Rani.”
            “Iya buk. Rani janji.”
            Merekapun berpelukan, dan saat itu hujan turun deras.
***
            Beberapa tahun kemudian. Rani tamat sekolah dan meraih beasiswa kuliah. Iapun berhasil mewujudkan impian almarhumah ibu kandungnya dan berhasil juga mewujudkan harapan ibu tirinya yang berhati mulia itu.
            Namun takdir berkata lain. Tiba-tiba wanita itu meninggal dunia saat Rani ingin mengambil air untuknya. Rani menangis dan sangat merasa kehilangan. Wanita yang telah setia dan begitu menyayanginya telah pergi selama-lamanya.
            Setelah lima bulan meninggalnya wanita itu, Ranipun menikah dengan seorang lelaki dari daerah seberang. Pria itu sangat baik dan pekerja keras. Sama sepertinya saat masa kecil dahulu.
            Rani bekerja sebagai guru SD, dan suaminya bekerja sebagai dokter di pukesmas desa. Rani memiliki seorang anak perempuan bernama Nina, yang juga giat dan tekun dalam belajar, sehingga Nina memiliki presatsi sama seperti ibunya, yang tetap bersikap rendah hati dan bercita-cita menjadi orang yang bermanfaat.