SEBUAH RAHASIA?
Damayanti
Kumpulan asap menyelimuti dinding sudut kamar. Warna asap itu tidak seperti pada umumnya. Warnanya sedikit merah dan kekuningan. Baunya juga menusuk hingga rongga jantungku, wanginya seperti parfum milik Sasmita. Aku terhuyung melihat sekumpulan asap itu, mataku memar menatapnya yang semakin tebal. Lama-lama ketebalan asap itu sedikit berkabut, perlahan-lahan warna yang muncul sudah tak seseram awal kulihat tadi. Warna itu indah, seperti pelangi yang menghiasi langit ketika hujan reda sembilan belas hari yang lalu. Tetapi aku masih takut tak berani mendekati. Langkah kakiku gentar. Bibirku terkatup bisu. Bola mataku masih layu bak daun kering terlibas hujan deras, terus perih menyayat retina yang sudah berminggu-minggu terus mengalir butiran air matanya. Apalagi ditambah kejadian yang tak kutahu apa maksudnya.
Aku menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan. Asap itu tak pudar dan terus menyesaki dada, hanya saja aku terheran akan warna yang berubah bersinar terang. Lalu mataku tak sengaja melihat kedua kaki yang berjalan akan menghampiriku. Kedua kaki itu bersih tanpa alas apapun. Aku memberanikan diri membuka mata. Sakit ku acuhkan, sedikit demi sedikit ku coba melihat. Dan aku tercengang, itulah orang yang membuatku seperti disiksa di dunia karena kehilangan. Aku berteriak ingin meraihnya, tetapi semakin menjauh dan tiba-tiba semua gelap.
Aku bangun tersentak, langit-langit kamar terlihat tak terjadi apa-apa. Aku bernafas kencang, sekujur tubuhku berkeringat, mengingat tadi aku telah mengalami mimpi yang tak kuinginkan.
“Ekhmmm”. Sebuah suara terdengar dekat ditelingaku. Awalnya aku mengira hanya suara tak jelas saja. Tapi. “Ekhmm..,” suara itu datang lagi. Aku memutar bola mataku di setiap sudut kamar, dan seorang lelaki berjubah besar dengan rambut panjang sebahu berdiri dekat jendela sebelah kiri kamarku.
“Siapa kamu.” Aku bertanya heran, “mengapa kamu ada dikamarku? Sedang apa kamu disini?”
“Hai apa kabarmu nak. Senang bertemu denganmu.” Ia berkata sambil tersenyum hangat padaku.
“Kamu siapa?” Tanyaku lagi dengan tatapan tajam padanya.
“Perkenalkan anak muda, namaku Angin, aku ingin berbicara singkat padamu. Bolehkah aku duduk disampingmu?”
Aku terdiam masih bingung menatapnya.
“Bolehkan aku duduk disampingmu?” Tanyanya lagi.
“Baiklah.” Jawabku singkat.
“Kau terlihat lebih kurus dari dua bulan yang lalu, rambut tebalmu terlihat kotor dan wajahmu kusam. Kamar ini juga terlihat berantakan dan bau kotoran.”
“Apa? “Jawabku pelan yang terus heran melihatnya.
“Hahahahaha, mengapa kau menatapku dengan tidak sopan. Aku ini lebih tua darimu. Tenanglah.”
Aku terus bisu dengan pernyataannya itu. Sepatahpun tidak kujawab.
“Namamu Hans kan? Nama yang sangat dikagumi oleh banyak wanita bukan. Dan kau jatuh cinta satu diantaranya.”
“Maksudmu apa?” Aku tak menduga pria tua ini akan bercerita apa.
“Sasmita. Wanita yang amat kau cintai itu. Wanita cantik dengan rambut panjang yang sering kau belai bukan? Wanita yang akan kau janjikan surga cinta?”
“Maaf, saya tidak ingin berdebat dengan Anda. Anda tidak saya kenali, dan tiba-tiba ada di kamar ini. Tolong bila tak ada yang penting, Anda bisa meninggalkan saya disini, atau Anda akan menyesal karena melihat sebuah kejadian buruk sesaat lagi, dan Anda akan dituduh melakukannya.” Aku berbicara sedikit tegas padanya.
“Hahahahaha bukan aku yang menyesal, tapi kau yang menyesal karena menyuruhku pergi.” Dia memukul pundakku.
“Apa maksud Anda? Anda siapa?”
“Hans, di pertengahan malam ini, marilah kuajak kau menikmati warna-warna yang kau suka, pemandangan-pemandangan indah, dan sebuah RAHASIA.” Dia berkata serius, dan matanya terlihat meyakinkan.
“Rahasia? Malam-malam begini? Tidak! Aku tetapi disini, dan mereka telah salah. Merekalah penyebabnya.”
“Tenanglah, kau tetap disini.”
“Disini?”
“Iya.”
Tiba-tiba pria itu memegang tanganku dan mengacungkannya dihadapan sebuah cahaya yang besar menyelimuti isi kamar. Aku terkejut, menatap takut.
“Aku benci cahaya. Jangan datangkan cahaya dikamar ini.” Aku berteriak karena cahaya itu. Lalu mataku berair karena perih, dan lagi-lagi aku menutupnya dengan kedua telapak tanganku.
***
Langit bercahaya terang. Dedaunan menguning keemasan. Angin bertiup halus menerpa wajah-wajah pejalan kaki di taman bunga kota. Pagi ini aku tak sedikitpun telat untuk menemui kekasih yang akan kuhadiahkan sebuah janji masa depan.
“Hans.” Suara lembut terdengar tak jauh dari telingaku.
Aku membalikkan badan dan tersenyum menatapnya. Wajah itu terlalu indah untuk kulepaskan dari retinaku. Pagi masih bersahabat, dan Sasmita semakin jelita karena matahari pagi yang tak sedikitpun berkurang akan cahayanya yang menyinari wajahnya.
“Sayang, aku akan menikahimu. Pergilah bersamaku ke rumah. Akan aku katakan pada ayah dan ibu, untuk menjadikanmu ibu dari anak-anakku.”
Sasmita tetap memamerkan senyuman manisnya, tetapi tiba-tiba garis bibir dan wajah indah itu berubah masam.
“Sasmita, apakah kau mau menjadi istriku?”
Ia masih terdiam tak berucap sepatahpun.
“Sasmita, apakah kau tak mau menerima pinanganku?”
“Ah bukan...bukan.....”
“Maksudmu?”
“Iya aku mau Hans. Aku mau.”
Aku tersenyum lebar. Menatapnya berbinar-binar. Lihatlah, langitpun turut berbahagia, malah matahari semakin indah menyelimuti wajah Sasmita. Aku memeluknya. Memegang kedua pipinya.
“Terimakasih sayang.”
Seusai kata itu ku ucapkan, aku segera membawanya ke rumah. Dia masuk ke mobil dan tak lepas mengenggam tanganku.
Aku menggedor pintu. Bibi membukanya. Kulihat ibu sedang merajut seperti biasa, dan ayah di belakang membaca koran.
“Ibu, lihat siapa yang kubawa.”
Ibu melihat Sasmita dengan senang, dan menyuruhnya duduk. Akupun memanggil ayah untuk segera duduk di kursi tamu. Samita menyalami ayah dan duduk disampingku.
Seharusnya pagi ini lengkap dengan kesempurnaan cinta kami. Tetapi entah mengapa tiba-tiba langit gelap dan petir menyambar keras terasa di rumahku. Hatiku beku mendengar ucapan ayah menolak pernikahanku dengan Sasmita. Aku tak mengerti, mengapa ayah tega menolak permintaanku. Selama ini aku tak pernah meminta yang tinggi apapun itu. Kecuali cinta ini yang ku dambakan selama tujuh tahun.
“Aku tak mengerti, mengapa ayah memperlakukan cinta kami seperti ini.”
“Kau tak mengerti Hans.” Ucap Ayah.
Pokoknya biar sekalipun nyawaku taruhannya, aku tetap menikahi Sasmita. Titik.
Aku menarik lengan Sasmita dan membawanya keluar untuk menenangkan hatinya yang terluka atas kejadian tadi.
***
“Indah Bukan, tetapi sayang berakhir nestapa.” Pria itu mengucapkannya dengan sendu.
“Mengapa Anda tampakkan itu padaku.”
“Agar kau tahu yang sebenarnya Hans.”
“Tahu apanya, semua sudah cukup. Sasmita sudah pergi selamanya. Ia bunuh diri karena tidak bisa menikah denganku. Buat apa aku hidup. Tidak ada guna, semuanya sampah. Dan akulah sampah itu. Sampah yang harus dibakar.”
Aku menangis, meronta dan melempar bantal ke dinding. Pria itu masih duduk disampingku dan wajahnya terlihat biasa. Seakan-akan aku yang disampingnya sama tenangnnya. Pria itu malah melipat tangannya. Menatapku yang terus mengacak rambut seperti orang kehilangan akal. Aku berlari menuju jendela kamar. Aku akan melompat agar bertemu Sasmita. Saat tingkap jendela kubuka, pinggangku seperti ditarik, dan aku terhempas ke tempat tidur. Pria itu berdiri, lalu menutup mataku dengan tangan kanannya.
“Sasmita, yakinlah. Cinta kita abadi. Aku akan terus bersamamu kapanpun hingga maut menjemput. Berjanjilah untuk menemuiku di taman ini besok pagi jam lima. Kita akan pergi untuk menikah di tempat sahabatku Fandi.”
Sasmita tersenyum dan mengangguk. Rambut lurusnya terbang oleh sepoi angin. Aku kembali memeluknya. Sasmita dan aku akan mempersiapkan diri dan pergi sejauh mungkin.
“Itu salah. Aku melihat itu tidak ada. Jangan diputarkan kembali. aku mohon!”
“Tenanglah. Coba kau lihat lagi Hans. Ini tinggal sedikit lagi. Rahasia itu akan membuatmu sadar semuanya. Aku menjamin setelah ini aku akan pergi darimu.” Pria tua itu kembali menyuruhku untuk melihat semuanya.
Sudah lebih tiga jam aku menunggu Sasmita. Tapi ia belum muncul juga. Apa jangan-jangan terjadi apa-apa dengannya. Tidak. Aku tak boleh berpikir buruk. Bisa jadi ia sedang di jalan. Aku mondar-mandir sedari tadi. Tidak berhenti berharap. Ku yakin Sasmita datang. Kartu teleponku sudah kuganti begitupun dengannya. Jadi bagaimana bisa aku menghubunginya. Aku terus berbicara sendiri dalam hati. Menunduk melihat rumput dibawah.
Jembatan besar kota tidak terlalu ramai dilewati. Saat itu memang masih sangat pagi sekali. Sasmita dengan gaun putih anggunya berjalan lemas. Matanya kosong dan rambutnya terurai di belai angin. Tangannya mengenggam setangkai mawar merah. Tapi merah itu juga mewarnai tangan putihnya. Perlahan-lahan mata kosong itu menderaikan air mata. Sasmita semakin terlihat seperti orang tak bernyawa. Lalu ia berdiri tepat ditengah jembatan, menatap lurus dan langit mulai memudar cerah.
“Maafkan aku Hans, aku sangat mencintaimu. Aku ingin pergi bersamamu. Tapi aku takut. Aku takut sekali membuatmu sakit dan menyesal melakukannya. Kau akan meninggalkan keluarga yang sangat menyayangimu dibandingkan aku yang tidak ada apa-apanya. Aku salah telah membuatmu jatuh cinta padaku. Aku salah dan sangat salah telah mengkhianati cintamu. Sepucuk surat yang aku titipkan di bawah pohon taman itu kuharap membuatmu mengerti. Selamat tinggal Hans, semoga kau bahagia.”
Sasmita menjatuhkan tubuhnya ke bawah jembatan. Pagi itu ia pergi untuk selamanya. Meninggalkan Hans yang menunggu. Hingga akhirnya kematian Sasmita membawanya pada penderitaan.
“Sasmitaaaaa.” Aku menjerit memanggil namanya yang sudah terlanjur jatuh di sungai deras.
“Hai Hans, itu sudah lalu. Jangan kau seperti ini. Cobalah kau cerna perkataan Sasmita. Ia merasa takut, bukan karena orangtuamu. Apakah kau mendengar apa yang dikatakannya? Ia sangat takut akan sesuatu, hingga ia harus membunuh dirinya. Dan ia juga mengirim surat padamu. Tapi kau pergi dan tak sempat membacanya.” Pria itu mengatakan dengan tegas padaku.
“Aku tak pernah tahu.” Aku menjwab pelan dan bingung.
“Surat itu tepat dibawah pohon cinta kalian. Dan kau tahu isi surat itu?”
“Apa?”
“Kau harus bisa menerima kenyataan. Bahwa Sasmita telah mengandung anak dari sahabatmu sendiri. Karena cintanya telah dibagi sejak kau kerja di luar negeri satu tahun yang lalu. Baiklah, kurasa waktuku telah habis, selamat tinggal nak. Jangan siakan hidupmu” Pria itupun pergi.
Baguss yanti..
BalasHapusTerimakasih :)
BalasHapus