Kamis, 13 Desember 2018

Bagaimanapun ia tetap Ibuku (Damayanti)


BAGAIMANAPUN TETAP IBUKU
Damayanti
Di dunia ini tak ada yang lebih mulia selain kesetiaan seorang ibu, dan didunia ini tak ada yang lebih indah selain belaian kasih sayang ibu. Iya, bagiku Ibu adalah sosok yang sempurna, apapun itu bentuknya, sekalipun Ibu membenciku. Kebencian yang begitu membara tak pernah kutahu dimana letaknya. Apakah karena nada suaraku yang tak seindah burung camar, atau tanganku yang bengkok bagai besi bangunan. Tapi kata Ayah! aku bukan anak tiri yang diambil dari rumah panti, ataupun bayi yang dipungut dari sampah kering di trotoar jalan raya. Aku tak mampu mengeja takdir ini, entah mengapa ini terjadi padaku. Aku terluka saat dirinya menyebutku anak sial, anak membawa petaka apa sajalah yang terucap dari lisan Ibu.
. Setiap malam aku mengintipnya duduk dengan kursi jati bergoyang sambil menyulam benang merah muda. Disampingnya sebuah vas bunga, pemberian ulang tahun pernikahan ayah dan Ibu pada bulan januari  lalu. Aku selalu ingin duduk dipangkuannya impian itu begitu curam dalam dadaku sekian lama. Namun sayangnya hanya mimpi bagi manusia sepertiku.  Bagaimanapun perlakuannya. Bagiku dirinya adalah sebuah ratu dan putri yang menawan. Bagai wanita dikerajaan kalinnga[1]. Setiap aku melihatnya tertawa bersama ayah, kak Nirwana, dan Kak Dimas. Membuat hatiku semakin tentram, damai yang tak pernah padam. Mendengar suaranya yang  lembut, biarpun tak selembut sikapnya padaku. tidak apa. Terpenting kebahagiaannya sudah cukup membiusku dalam mimipi indah.
Dikala kesedihan itu, Allah sangat adil padaku. Biarpun seorang ibu tidak menyanyangiku. Tetapi Ayah dan kedua kakakku berhati mulia, tulus menjagaku. Sebenarnya ayah, dan kakak selalu mengajakku untuk berkumpul bersamanya. Tetapi kedatanganku merusak keceriaannya, maka dari itu akupun  takkan pernah membuatnya melihatku lalu pergi meninggalkan tawaan yang mempesona.
***
Panggilan kak Dimas, membuatku penasaran, karena tak biasanya kakak memanggilku dengan nada suara keras. Kakiku yang pincang, bibirku yang miring, dan tanganku yang bengkok, kuusahakan berjalan cepat untuk segera menghampirinya.
“Ichaaa........”
“Ityaaaa Takkkkk Mas, ......” Jawabku dengan usaha nada keras.
“Aduh kamu kok lari adikku yang cantik, kamu tahu ngak kenapa kakak berteriak  tadi?”
Aku menganggukkan kepala dan mata yang kecut, karena heran.
“Aduh kamu ni, sayang hari ini kan ulang tahunmu yang ke 9 masak cantikku ngak ingat”
Akupun malu, dihadapannya
“Oya kak Nirwana sedang rapat bersama kawan kantornya, tapi dia tak lupa pada ulangtahunmu ayahmu juga.” Kata kak Dimas, sambil memberikan sebuah bingkisan.
Ya Allah, aku bersyukur pada-Mu mereka masih peduli terhadap manusia cacat sepertiku. Bahkan jika mereka mau bisa saja aku ditelantarkan di jalan ataupun aku di asingkan ke panti. Tapi itu semua tidak ada. Walaupun aku tak berguna, mereka tak pernah mengutarakan penyeselan karenaku bersama mereka. Bahkan tak jarang ayah dan kak Nirwana memabawakan buku agama dan dongeng padaku, walaupun tak ada yang membacakan untukku tapi pemberian itu membuatku hidup. Sehingga aku menulis berbagai kisah yang kutarakan khusunya untuk ibuku tercinta. Tetapi semua itu tak ku katakan pada mereka aku hanya menulis agar mereka yang membaca tulisanku, semangat memiliki seorang Ibu.
Di penghujung bulan Desember hujan menenggelamkan kota ku. Ibu pergi belanja untuk keperluan musim hujan, entah mengapa jantungku berdetak kencang dan pikiranku sedikat gelisah tak karuan. Aku masih ingat cerpen terkahirku belum kuselesaikan yang kurencanakan kuhadiahkan untuk ulangtahun ibu yang datang pada awal April nantinya. Tapi, Tiba-tiba suara mobil terkisuh fasih ditelingaku. Aku melihat kejendela dan hujan masih deras menerjang. Perasaanku masih gelisah aku pun mengambil ponsel dan menchat ayah. Betapa lumpuh mataku, darahku beku seketika, hatiku koyak lantaran mendengar kabar  bahwa ibu tertabrak mobil. Akupun membongkar celenganku untuk segera pergi kerumah sakit. Ku kuatkan tenagaku untuk bisa mencari kendaraan yang mengantarkanku ke sana. Hujan masih sangat deras, namun, lebih deras hatiku yang takut kehilangan Ibu.
Tak lama kemudian jalanan macet, hujan tak kunjung reda hingga membanjiri kota. Aku terus menangis mengigit jari. Tak ada yang lain terselubung dalam benakku, selain hati yang menunggu harapan dalam pertemuan yang jauh dinanti. Sesampainya disana, aku berlari dengan kaki pincang dan rambut yang basah. Cucuran air hujan menetes membasahi, dan mengotori lantai Rumah Sakit.
“Aaaaaaa” hanya kata itu bisa kulisankan untuk mencari kamar Ibu. Tak ada gunanya aku datang menemui bidang administrasi. Merekapun tak akan paham apa yang aku katakan. Lebih baik aku berjuang sendiri mencari Ibu.
Kakiku terus berlari tak letih biarpun dinginnya air hujan menyelimuti. Lantai dua sudah aku singgahi dan kuperiksa satu-persatu ruangan. Hingga lantai tiga kususri, ketika sampai diatas. Kulihat ayah dan Kak Dimas duduk dikursi panjang paling sudut. Tidak lain lagi, jika ada Ayah dan Kak Dimas disana, pastilah Ibu ada disana. kak Dimas sudah melihatku dari kejauhan, diapun segera menemuiku dan merangkulku hingga menggendongku.
Akupun menangis tersedu-sedu, cairan kental  bening terus keluar dari hidungku, layaknya bocah yang menangis tiada henti memohon sesuatu. Kak dimas menghapus air mataku dan Ayah mengelus pundakku, hingga  kepalaku dengan lembut. “Izza jangan nangis ya sayang, ada Ayah disini sama kakak. Izza kok basah badannya maafkan Ayah ya tidak membawa Izza ke rumah sakit”, ayahpun terus menatapku dengan sayup.
Kamipun duduk dikursi panjang. Kak Dimas menyelimutiku dengan jaketnya, dan memelukku dengan erat tanpa lepas sedetikpun. Tiba-tiba suster keluar dan memanggil Ayah. Akupun terus mengeluarkan ocehan memberikan tanda untuk mengikuti Ayah. Lalu ayah mengatakan bahwa Ibu sedang membutuhkan darah yang banyak, karena kepala Ibu bocor terbentur. Aku mendengarnya langsung terjatuh dan memohon pada Ayah dan Kak Dimas, agar darahku didonorkan segera buat Ibu. Agar Ibu pulih dan kembali pulang. Walaupun  nyawaku taruhannya.
Aku merengek terus mengoceh. Ayahpun membawaku ke Lab untuk dicek darahnya, darahkupun cocok. Maka tak lama setelahnya, jarum suntik tertusuk ditanganku. Aliran pipa panjang infus berwara merah kental mengalir. Akupun menutup mata tidak berani melihat. setelahnya aku tidak sadarkan diri.
Dalam tidurku seorang wanita berkerudung putih terlihat cantik jelita berdiri disebuah taman yang berumput hijau. Di sampingnya bunga mawar dan bunga matahari yang begitu benderang terhampar di permukaan tanah . membuatku menjadi penasaran dengan wanita yang duduk dikursi taman itu. awalnya aku menyangka dia adalah Ibu, tetapi sangkaanku salah. Diapun meraihku dengan tangan kanannya. Aku tersentuh begitu lembut, lirik matanya sayu dan tenang, bawaannya syahdu menentramkan.
“Sayang kamu  ikut Ibu ya.“ Akupun heran dengan pernyataan itu? Maksudnya apa? Tapi entah mengapa aku tidak bisa sepatah katapun mengeluarkan suara untuk menanyakan maksud dari perkataannya. Hingga dia memelukku akupun terlelap kembali
***
Seorang dokter berlari bersama kedua perawat wanita. Tinggalah seorang gadis kecil cacat terbaring layu dengan penutup mulut disertai oksigen. Tak ada harapan apapun lagi. Segala peralatan medis terlepas dengan duka cita dari tubuhnya. Roh gadis itu (aku), berdiri dibalik pintu, lalu kulihat Ibu datang menemui ragaku dengan kursi roda, Ibu terlihat sehat alhamdulillah.  Setelah perjumpaan itu, Ibu menangisiku. Tampaknya Ibu sudah mulai tulus padaku. Ibupun mengenggam tangannya dengan erat bahkan sampai jarum yang menusuk urat tangan ibu terlepas. Ibu mencium tanganku memoles-molesnya keseluruh permukaan wajah hingga kedadanya, “Izza maafkan Ibu ya sayang, tak sempat kamu merasakan pelukan Ibuk di semasa hidupmu”
Selembar kertas dibaca oleh Ibu, sepulangnya dari Rumah Sakit. Surat yang berumur 9 tahun yang lalu itu, ternyata masih disimpan oleh Ibu.
“Ambar, kutitipkan putriku padamu ya, maafkan kekhilafanku yang sudah mencintai mas Bram, sejujurnya aku tidak mau menikah dengannya. Tetapi desakan karena aku hamil sebelum mas Bram menikahimu. Jika kutahu dari awal kau akan menjadi istrinya aku takkan melakukan hubungan itu, aku tidak sadar pada saat itu, aku sangat menyesal Ambar. Kini anakku telah lahir akupun tidak akan lama lagi meninggal. Dengan penyakit jantungku yang sudah sangat melemah. Aku mohon sekali padamu Ambar, jika kau membenci aku. Mohon maafkanlah, tapi jangan pada Izza. Kasihan dia apalagi keadaan tubuhnya yang tidak sempurna. Tolonglah aku ya Ambar, aku mohon padamu!
                                                                                                Tertanda, Zahara”




[1] Wanita yang terdapat salah satu kerajaan di India






Tidak ada komentar:

Posting Komentar