BAGAIMANAPUN
TETAP IBUKU
Damayanti
Di
dunia ini tak ada yang lebih mulia selain kesetiaan seorang ibu, dan didunia
ini tak ada yang lebih indah selain belaian kasih sayang ibu. Iya, bagiku Ibu
adalah sosok yang sempurna, apapun itu bentuknya, sekalipun Ibu membenciku.
Kebencian yang begitu membara tak pernah kutahu dimana letaknya. Apakah karena
nada suaraku yang tak seindah burung camar, atau tanganku yang bengkok bagai
besi bangunan. Tapi kata Ayah! aku bukan anak tiri yang diambil dari rumah panti,
ataupun bayi yang dipungut dari sampah kering di trotoar jalan raya. Aku tak
mampu mengeja takdir ini, entah mengapa ini terjadi padaku. Aku terluka saat
dirinya menyebutku anak sial, anak membawa petaka apa sajalah yang terucap dari
lisan Ibu.
.
Setiap malam aku mengintipnya duduk dengan kursi jati bergoyang sambil menyulam
benang merah muda. Disampingnya sebuah vas bunga, pemberian ulang tahun
pernikahan ayah dan Ibu pada bulan januari
lalu. Aku selalu ingin duduk dipangkuannya impian itu begitu curam dalam
dadaku sekian lama. Namun sayangnya hanya mimpi bagi manusia sepertiku. Bagaimanapun perlakuannya. Bagiku dirinya
adalah sebuah ratu dan putri yang menawan. Bagai wanita dikerajaan kalinnga[1].
Setiap aku melihatnya tertawa bersama ayah, kak Nirwana, dan Kak Dimas. Membuat
hatiku semakin tentram, damai yang tak pernah padam. Mendengar suaranya
yang lembut, biarpun tak selembut
sikapnya padaku. tidak apa. Terpenting kebahagiaannya sudah cukup membiusku
dalam mimipi indah.
Dikala
kesedihan itu, Allah sangat adil padaku. Biarpun seorang ibu tidak
menyanyangiku. Tetapi Ayah dan kedua kakakku berhati mulia, tulus menjagaku.
Sebenarnya ayah, dan kakak selalu mengajakku untuk berkumpul bersamanya. Tetapi
kedatanganku merusak keceriaannya, maka dari itu akupun takkan pernah membuatnya melihatku lalu pergi
meninggalkan tawaan yang mempesona.
***
Panggilan
kak Dimas, membuatku penasaran, karena tak biasanya kakak memanggilku dengan
nada suara keras. Kakiku yang pincang, bibirku yang miring, dan tanganku yang
bengkok, kuusahakan berjalan cepat untuk segera menghampirinya.
“Ichaaa........”
“Ityaaaa
Takkkkk Mas, ......” Jawabku dengan usaha nada keras.
“Aduh
kamu kok lari adikku yang cantik, kamu tahu ngak kenapa kakak berteriak tadi?”
Aku
menganggukkan kepala dan mata yang kecut, karena heran.
“Aduh
kamu ni, sayang hari ini kan ulang tahunmu yang ke 9 masak cantikku ngak ingat”
Akupun
malu, dihadapannya
“Oya
kak Nirwana sedang rapat bersama kawan kantornya, tapi dia tak lupa pada
ulangtahunmu ayahmu juga.” Kata kak Dimas, sambil memberikan sebuah bingkisan.
Ya
Allah, aku bersyukur pada-Mu mereka masih peduli terhadap manusia cacat
sepertiku. Bahkan jika mereka mau bisa saja aku ditelantarkan di jalan ataupun
aku di asingkan ke panti. Tapi itu semua tidak ada. Walaupun aku tak berguna,
mereka tak pernah mengutarakan penyeselan karenaku bersama mereka. Bahkan tak
jarang ayah dan kak Nirwana memabawakan buku agama dan dongeng padaku, walaupun
tak ada yang membacakan untukku tapi pemberian itu membuatku hidup. Sehingga aku
menulis berbagai kisah yang kutarakan khusunya untuk ibuku tercinta. Tetapi
semua itu tak ku katakan pada mereka aku hanya menulis agar mereka yang membaca
tulisanku, semangat memiliki seorang Ibu.
Di
penghujung bulan Desember hujan menenggelamkan kota ku. Ibu pergi belanja untuk
keperluan musim hujan, entah mengapa jantungku berdetak kencang dan pikiranku
sedikat gelisah tak karuan. Aku masih ingat cerpen terkahirku belum
kuselesaikan yang kurencanakan kuhadiahkan untuk ulangtahun ibu yang datang pada
awal April nantinya. Tapi, Tiba-tiba suara mobil terkisuh fasih ditelingaku.
Aku melihat kejendela dan hujan masih deras menerjang. Perasaanku masih gelisah
aku pun mengambil ponsel dan menchat ayah. Betapa lumpuh mataku, darahku beku
seketika, hatiku koyak lantaran mendengar kabar
bahwa ibu tertabrak mobil. Akupun membongkar celenganku untuk segera
pergi kerumah sakit. Ku kuatkan tenagaku untuk bisa mencari kendaraan yang
mengantarkanku ke sana. Hujan masih sangat deras, namun, lebih deras hatiku
yang takut kehilangan Ibu.
Tak
lama kemudian jalanan macet, hujan tak kunjung reda hingga membanjiri kota. Aku
terus menangis mengigit jari. Tak ada yang lain terselubung dalam benakku,
selain hati yang menunggu harapan dalam pertemuan yang jauh dinanti. Sesampainya
disana, aku berlari dengan kaki pincang dan rambut yang basah. Cucuran air
hujan menetes membasahi, dan mengotori lantai Rumah Sakit.
“Aaaaaaa”
hanya kata itu bisa kulisankan untuk mencari kamar Ibu. Tak ada gunanya aku
datang menemui bidang administrasi. Merekapun tak akan paham apa yang aku
katakan. Lebih baik aku berjuang sendiri mencari Ibu.
Kakiku
terus berlari tak letih biarpun dinginnya air hujan menyelimuti. Lantai dua
sudah aku singgahi dan kuperiksa satu-persatu ruangan. Hingga lantai tiga kususri,
ketika sampai diatas. Kulihat ayah dan Kak Dimas duduk dikursi panjang paling
sudut. Tidak lain lagi, jika ada Ayah dan Kak Dimas disana, pastilah Ibu ada
disana. kak Dimas sudah melihatku dari kejauhan, diapun segera menemuiku dan
merangkulku hingga menggendongku.
Akupun
menangis tersedu-sedu, cairan kental
bening terus keluar dari hidungku, layaknya bocah yang menangis tiada
henti memohon sesuatu. Kak dimas menghapus air mataku dan Ayah mengelus
pundakku, hingga kepalaku dengan lembut.
“Izza jangan nangis ya sayang, ada Ayah disini sama kakak. Izza kok basah
badannya maafkan Ayah ya tidak membawa Izza ke rumah sakit”, ayahpun terus
menatapku dengan sayup.
Kamipun
duduk dikursi panjang. Kak Dimas menyelimutiku dengan jaketnya, dan memelukku
dengan erat tanpa lepas sedetikpun. Tiba-tiba suster keluar dan memanggil Ayah.
Akupun terus mengeluarkan ocehan memberikan tanda untuk mengikuti Ayah. Lalu
ayah mengatakan bahwa Ibu sedang membutuhkan darah yang banyak, karena kepala
Ibu bocor terbentur. Aku mendengarnya langsung terjatuh dan memohon pada Ayah
dan Kak Dimas, agar darahku didonorkan segera buat Ibu. Agar Ibu pulih dan
kembali pulang. Walaupun nyawaku
taruhannya.
Aku
merengek terus mengoceh. Ayahpun membawaku ke Lab untuk dicek darahnya, darahkupun
cocok. Maka tak lama setelahnya, jarum suntik tertusuk ditanganku. Aliran pipa
panjang infus berwara merah kental mengalir. Akupun menutup mata tidak berani
melihat. setelahnya aku tidak sadarkan diri.
Dalam
tidurku seorang wanita berkerudung putih terlihat cantik jelita berdiri
disebuah taman yang berumput hijau. Di sampingnya bunga mawar dan bunga
matahari yang begitu benderang terhampar di permukaan tanah . membuatku menjadi
penasaran dengan wanita yang duduk dikursi taman itu. awalnya aku menyangka dia
adalah Ibu, tetapi sangkaanku salah. Diapun meraihku dengan tangan kanannya.
Aku tersentuh begitu lembut, lirik matanya sayu dan tenang, bawaannya syahdu
menentramkan.
“Sayang
kamu ikut Ibu ya.“ Akupun heran dengan
pernyataan itu? Maksudnya apa? Tapi entah mengapa aku tidak bisa sepatah
katapun mengeluarkan suara untuk menanyakan maksud dari perkataannya. Hingga
dia memelukku akupun terlelap kembali
***
Seorang
dokter berlari bersama kedua perawat wanita. Tinggalah seorang gadis kecil
cacat terbaring layu dengan penutup mulut disertai oksigen. Tak ada harapan
apapun lagi. Segala peralatan medis terlepas dengan duka cita dari tubuhnya.
Roh gadis itu (aku), berdiri dibalik pintu, lalu kulihat Ibu datang menemui
ragaku dengan kursi roda, Ibu terlihat sehat alhamdulillah. Setelah perjumpaan itu, Ibu menangisiku.
Tampaknya Ibu sudah mulai tulus padaku. Ibupun mengenggam tangannya dengan erat
bahkan sampai jarum yang menusuk urat tangan ibu terlepas. Ibu mencium tanganku
memoles-molesnya keseluruh permukaan wajah hingga kedadanya, “Izza maafkan Ibu
ya sayang, tak sempat kamu merasakan pelukan Ibuk di semasa hidupmu”
Selembar
kertas dibaca oleh Ibu, sepulangnya dari Rumah Sakit. Surat yang berumur 9
tahun yang lalu itu, ternyata masih disimpan oleh Ibu.
“Ambar,
kutitipkan putriku padamu ya, maafkan kekhilafanku yang sudah mencintai mas
Bram, sejujurnya aku tidak mau menikah dengannya. Tetapi desakan karena aku
hamil sebelum mas Bram menikahimu. Jika kutahu dari awal kau akan menjadi
istrinya aku takkan melakukan hubungan itu, aku tidak sadar pada saat itu, aku
sangat menyesal Ambar. Kini anakku telah lahir akupun tidak akan lama lagi
meninggal. Dengan penyakit jantungku yang sudah sangat melemah. Aku mohon
sekali padamu Ambar, jika kau membenci aku. Mohon maafkanlah, tapi jangan pada
Izza. Kasihan dia apalagi keadaan tubuhnya yang tidak sempurna. Tolonglah aku
ya Ambar, aku mohon padamu!
Tertanda,
Zahara”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar