Kamis, 13 Desember 2018

Cerpen STASIUN KERETA (Damayanti)


STASIUN KERETA

            Tak ada yang dapat kuutarakan lagi padanya. Berpuluh-puluh kali bahkan beribu kali aku mengatakan kenyataan yang sebenarnya. Tetapi balasan yang kuterima hanyalah ungkapan bisu darinya. Setiap hari lamunan yang terlihat dari tatapannya menerjalku setiap saat. Membuat hatiku teriris tak memperoleh kebahagiaan yang dulu pernah kuterima.
            Penantian yang tlah lama mendera selama bertahun-tahun. Tlah membunuh waktu dan terhinggap bersama luka menganga. Aku melihatnya selalu terduduk di kursi stasiun kereta. Rambut Wanita itu tlah diselimuti uban. Wajah kisutnya semakin hari semakin jelas. Tak ada yang bisa dilakukannya. Selain hanya duduk membisu ditemani sebongkah kain kuning, berisi kue kering kesukaan putra sulungnya.
Bagaimana caranya untuk membawanya kembali seperti dulu. Jika seandainya dulu tidak terjadi pada empat tahun  lalu.
***
            Disebuah desa yang kecil hiduplah seorang wanita Imah. Seorang janda miskin yang suaminya meninggal pada lima bulan  lalu.  Merawat anak seorang diri bernama Ahmad. Setelahnya lahirlah seorang anak perempuan  bernama Wati (aku).
Emak  bekerja keras menghidupi kami. Tak ada keluarga yang turut membantu, paman dan bibi sudah mempunyai keluarga masing-masing dan berstrasmigrasi ke kota besar meninggalkan desa. Tapi Ibu tidak pernah mau meninggalkan desa ini, begitu banyak kenangan yang tak luput dalam jiwanya yang begitu terikat didesa ini.
.Profesi Emak  sebagai buruh kebun teh tak pernah lepas dari masa gadisnya dulu. Sebelum menikah dengan ayah. Emak  memang melakoni pekerjaan itu untuk membantu almarhum nenek dulu.
Emak sudah terbiasa dengan kemiskinan. Dan itu tidak menjadi suatu pekara yang terbenak dalam hatinya. Segala kesederhanaan sudah terbiasa bahkan menuruni kami anak-anaknya.
Bang Ahmad adalah seorang kakak yang baik, dan penuh kasih sayang padaku dan Emak. Tak pernah ucapan kasar terlimpah  darinya apalagi perlakuan kasar. Setiap bulan bang Ahmad selalu memberikan upah hasil kerjanya pada Emak. Dan menambahi membeli bahan sembako untuk kebutuhan sehari-hari.
Bang Ahmad adalah anak laki-laki Emak yang sangat disayang. Namun Emak juga tidak jauh banding sayang padaku. Hanya saja harapan Emak  ada pada putra sulungnya itu. aku mengerti, dan tak pernah terbesit dihatiku iri padanya.
Bang Ahmad sangat berbakti pada Emak dan selalu membelikan ku mainan pada saat perayaan pekan minggu. Aku sangat menyayanginya dan tak ingin berpisah darinya.
Emak semakin tua, umur bang Ahmad sudah 17 tahun dan aku 12 tahun. Dengan kondisi Emak yang tua, tak jarang  jika Emak sering sakit-sakitan, dan batuk karena kelelahan. Bang Ahmad sangat perhatian pada Emak. Jika Emak terjatuh bang Ahmad merangkulnya dengan baik. Dan menggendong Emak hingga ke mantri desa. Jika kaki Emak lebam karena terkena kutu air. Salap selalu bang Ahmad usapkan kejempol-jempol Emak yang memar, lalu memijit betis kakinya dengan lembut.Aku sangat terkesima melihat bang Ahmad. Aku berharap suatu saat nanti memiliki seorang pasangan hidup sepertinya. Yang menyayangiku dengan tulus seperti perlakuan bang Ahmad pada Emak.
Pada suatu hari Emak sakit keras. Batuknya semakin teruk bahkan pernah mengeluarkan darah dari mulutnya. Pada saat itu aku sangat khawatir dengan kondisi Emak terlebih bang Ahmad. Setiap malam disepertiga waktu selalu bang Ahmad terbangun menangis-nangis serta memohon untuk kesembuhan Emak..
Dan akhirnya kesembuhan Emak lama-lama semakin membaik. Membuat bang Ahmad semangat hidup lagi.
Dipenghujung bulan Agustus selepas shalat Magrib. Bang Ahmad mengatakan sesuatu yang membuat hati Emak menangis. Bukan jarang, bahkan bang Ahmad tak pernah melakukan itu, tetapi entah mengapa ini terjadi. Rupa-rupanya bang Ahmad meminta izin nak merantau kenegri seberang lautan yang jauh dari pelosok desa kami. Dengan tujuan ingin merubah hidup yang lama dalam kemiskinan. Aku tahu niat bang Ahmad baik. Tapi bagaimana dengan kami apa bang Ahmad tidak memikirkan itu.
Permintaan bang Ahmad itu membuat emak tak bisa bernaung dan memutuskan kehendak anaknya itu. hingga pada akhirnya Emakpun mengizinkan bang Ahmad merantau. Karena emak kasihan dengan abang yang jatuh sakit semenjak tidak ada izin dari emak.
Keesokannya bang Ahmad bersiap-siap. Emak memasak yang enak untuk Ahmad sebelum kepergiannya. Lalu dua jam kemudian aku dan Emak, mengantar bang Ahmad kestasiun dengaan waktu perjalanan setengah jam. Sesampainya disana, emak meminta bang Ahmad untuk berjanji cepat pulang walaupun bang Ahmad tidak sukses jika disana. yang terpenting bang Ahmad kembali. Ungkap Emak terisak-isak.
Aku dan Emak menangis, tak ingin melepaskan bang Ahmad. Satu-satunya lelaki yang ada dirumah kami. Satu-satunya lelaki yang akan bertanggung jawab untuk kami. Tetapi pergi dan tidak tahu kapan kembali
Suara lonceng kereta berbunyi menandakan keberangkatan akan segera dimulai. Bang Ahmad memeluk emak, juga aku. Aku melihatnya menangis dengan tetesan air mata perpisahan. Perlahan-lahan tangan bang Ahmad terlepas dari genggaman Emak. Lalu menaiki kereta yang akan segera pergi. Wajah bang Ahmadpun sudah tak terlihat lagi dari pintu kereta. Dan emak masih menangis  tersedu-sedu. Akupun mengelus-elus pundaknya.
“Sudahlah mak, doakan bang Ahmad agar cepat kumpul lagi sama kita” ungkapku.
Hari semakin berganti, hingga menjadi bulan, lalu  menjadi tahun. Bang Ahmad tidak ada kabar berita bahkan suratpun tak kunjung tiba.
Kulihat emak sudah sangat merindukan bang Ahmad. Hingga sakit memikulnya, beberapa bulan terkahir, Emak sering menghilang, lalu aku mencarinya, dan kudapati distasiun kereta. Sambil memegang sebongkah kain kuning yang berisi kue kering, dan sudah berjamur karena tak dimakan, dan lama tertutup.
Hatiku semakin sakit melihat Emak. Dan mengapa bang Ahmad tak pulang-pulang. Tatapan mata emak kosong dan kutemukan kesedihan yang bertubu-tubi. Hingga Emakpun menjadi ocehan orang, di saat keramaian stasiun kereta. Yang mengatakan bahwa emak sudah kehilangan warasnya. Aku tahu semenjak kepergian bang Ahmad cahaya hidup emak hilang, bahkan tubuhnya yang kisut semakin kurus.
Sudah empat tahun bang Ahmad tak pulang. Dan Emak semakin menderita dengan kerinduan yang tenggelam begitu curam. Tak ada yang bisa kulakukan, emakpun sakit hingga nafasnya berhenti untuk selama-lamanya.


"BUKU BULAN DI MATA AIRIN" DAPAT DI LIHAT DI APLIKASI I-PUSNAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar