STASIUN
KERETA
Tak ada yang dapat kuutarakan lagi
padanya. Berpuluh-puluh kali bahkan beribu kali aku mengatakan kenyataan yang
sebenarnya. Tetapi balasan yang kuterima hanyalah ungkapan bisu darinya. Setiap
hari lamunan yang terlihat dari tatapannya menerjalku setiap saat. Membuat
hatiku teriris tak memperoleh kebahagiaan yang dulu pernah kuterima.
Penantian yang tlah lama mendera
selama bertahun-tahun. Tlah membunuh waktu dan terhinggap bersama luka
menganga. Aku melihatnya selalu terduduk di kursi stasiun kereta. Rambut Wanita
itu tlah diselimuti uban. Wajah kisutnya semakin hari semakin jelas. Tak ada
yang bisa dilakukannya. Selain hanya duduk membisu ditemani sebongkah kain
kuning, berisi kue kering kesukaan putra sulungnya.
Bagaimana caranya untuk membawanya kembali seperti dulu. Jika
seandainya dulu tidak terjadi pada empat tahun
lalu.
***
Disebuah desa yang kecil hiduplah
seorang wanita Imah. Seorang janda miskin yang suaminya meninggal pada lima
bulan lalu. Merawat anak seorang diri bernama Ahmad.
Setelahnya lahirlah seorang anak perempuan
bernama Wati (aku).
Emak bekerja keras menghidupi
kami. Tak ada keluarga yang turut membantu, paman dan bibi sudah mempunyai
keluarga masing-masing dan berstrasmigrasi ke kota besar meninggalkan desa.
Tapi Ibu tidak pernah mau meninggalkan desa ini, begitu banyak kenangan yang
tak luput dalam jiwanya yang begitu terikat didesa ini.
.Profesi Emak sebagai buruh
kebun teh tak pernah lepas dari masa gadisnya dulu. Sebelum menikah dengan
ayah. Emak memang melakoni pekerjaan itu
untuk membantu almarhum nenek dulu.
Emak sudah terbiasa dengan kemiskinan. Dan itu tidak menjadi suatu
pekara yang terbenak dalam hatinya. Segala kesederhanaan sudah terbiasa bahkan
menuruni kami anak-anaknya.
Bang Ahmad adalah seorang kakak yang baik, dan penuh kasih sayang
padaku dan Emak. Tak pernah ucapan kasar terlimpah darinya apalagi perlakuan kasar. Setiap bulan
bang Ahmad selalu memberikan upah hasil kerjanya pada Emak. Dan menambahi
membeli bahan sembako untuk kebutuhan sehari-hari.
Bang Ahmad adalah anak laki-laki Emak yang sangat disayang. Namun
Emak juga tidak jauh banding sayang padaku. Hanya saja harapan Emak ada pada putra sulungnya itu. aku mengerti,
dan tak pernah terbesit dihatiku iri padanya.
Bang Ahmad sangat berbakti pada Emak dan selalu membelikan ku mainan
pada saat perayaan pekan minggu. Aku sangat menyayanginya dan tak ingin
berpisah darinya.
Emak semakin tua, umur bang Ahmad sudah 17 tahun dan aku 12 tahun.
Dengan kondisi Emak yang tua, tak jarang
jika Emak sering sakit-sakitan, dan batuk karena kelelahan. Bang Ahmad
sangat perhatian pada Emak. Jika Emak terjatuh bang Ahmad merangkulnya dengan
baik. Dan menggendong Emak hingga ke mantri desa. Jika kaki Emak lebam karena
terkena kutu air. Salap selalu bang Ahmad usapkan kejempol-jempol Emak yang
memar, lalu memijit betis kakinya dengan lembut.Aku sangat terkesima melihat
bang Ahmad. Aku berharap suatu saat nanti memiliki seorang pasangan hidup
sepertinya. Yang menyayangiku dengan tulus seperti perlakuan bang Ahmad pada
Emak.
Pada suatu hari Emak sakit keras. Batuknya semakin teruk bahkan
pernah mengeluarkan darah dari mulutnya. Pada saat itu aku sangat khawatir
dengan kondisi Emak terlebih bang Ahmad. Setiap malam disepertiga waktu selalu
bang Ahmad terbangun menangis-nangis serta memohon untuk kesembuhan Emak..
Dan akhirnya kesembuhan Emak lama-lama semakin membaik. Membuat bang
Ahmad semangat hidup lagi.
Dipenghujung bulan Agustus selepas shalat Magrib. Bang Ahmad
mengatakan sesuatu yang membuat hati Emak menangis. Bukan jarang, bahkan bang Ahmad tak pernah melakukan itu,
tetapi entah mengapa ini terjadi. Rupa-rupanya bang Ahmad meminta izin nak
merantau kenegri seberang lautan yang jauh dari pelosok desa kami. Dengan
tujuan ingin merubah hidup yang lama dalam kemiskinan. Aku tahu niat bang Ahmad
baik. Tapi bagaimana dengan kami apa bang Ahmad tidak memikirkan itu.
Permintaan bang Ahmad itu membuat emak tak bisa bernaung dan
memutuskan kehendak anaknya itu. hingga pada akhirnya Emakpun mengizinkan bang
Ahmad merantau. Karena emak kasihan dengan abang yang jatuh sakit semenjak
tidak ada izin dari emak.
Keesokannya bang Ahmad bersiap-siap. Emak memasak yang enak untuk
Ahmad sebelum kepergiannya. Lalu dua jam kemudian aku dan Emak, mengantar bang
Ahmad kestasiun dengaan waktu perjalanan setengah jam. Sesampainya disana, emak
meminta bang Ahmad untuk berjanji cepat pulang walaupun bang Ahmad tidak sukses
jika disana. yang terpenting bang Ahmad kembali. Ungkap Emak terisak-isak.
Aku dan Emak menangis, tak ingin melepaskan bang Ahmad. Satu-satunya
lelaki yang ada dirumah kami. Satu-satunya lelaki yang akan bertanggung jawab
untuk kami. Tetapi pergi dan tidak tahu kapan kembali
Suara lonceng kereta berbunyi menandakan keberangkatan akan segera dimulai. Bang Ahmad
memeluk emak, juga aku. Aku melihatnya menangis dengan tetesan air mata
perpisahan. Perlahan-lahan tangan bang Ahmad terlepas dari genggaman Emak. Lalu
menaiki kereta yang akan segera pergi. Wajah bang Ahmadpun sudah tak terlihat
lagi dari pintu kereta. Dan emak masih menangis
tersedu-sedu. Akupun mengelus-elus pundaknya.
“Sudahlah mak, doakan bang Ahmad agar cepat kumpul lagi sama kita”
ungkapku.
Hari semakin berganti, hingga menjadi bulan, lalu menjadi tahun. Bang Ahmad tidak ada kabar
berita bahkan suratpun tak kunjung tiba.
Kulihat emak sudah sangat merindukan bang Ahmad. Hingga sakit
memikulnya, beberapa bulan terkahir, Emak sering menghilang, lalu aku
mencarinya, dan kudapati distasiun kereta. Sambil memegang sebongkah kain
kuning yang berisi kue kering, dan sudah berjamur karena tak dimakan, dan lama
tertutup.
Hatiku semakin sakit melihat Emak. Dan mengapa bang Ahmad tak
pulang-pulang. Tatapan mata emak kosong dan kutemukan kesedihan yang
bertubu-tubi. Hingga Emakpun menjadi ocehan orang, di saat keramaian stasiun
kereta. Yang mengatakan bahwa emak sudah kehilangan warasnya. Aku tahu semenjak
kepergian bang Ahmad cahaya hidup emak hilang, bahkan tubuhnya yang kisut
semakin kurus.
Sudah empat tahun bang Ahmad tak pulang. Dan Emak semakin menderita
dengan kerinduan yang tenggelam begitu curam. Tak ada yang bisa kulakukan,
emakpun sakit hingga nafasnya berhenti untuk selama-lamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar