Kamis, 13 Desember 2018

KENANGAN YANG KU KENANG

KENANGAN YANG KU KENANG
Karya: Damayanti

            Seorang wanita duduk di atas kursi bergoyang. Membuka album foto yang menceritakan kenangan masa dahulu. Saat itu matahari menyemburat menembus jendela rumahku. Sedangkan pepohonan di depan rumah berdiri kokoh dengan hilir angin yang melintasi dengan senyap.
            Hening sejenak terasa. Namun sesekali kulihat wanita paruh baya itu memanggil-manggil nama Aini. Siapa Aini? Ya dia Ibuku. Anak bungsunya. Paling diisayangnya paling dekat dengannya. Dan juga banyak merasakan rasa luka semasa hidupnya. Sesekali wanita itu juga memanggil nama suaminya, dengan linangan air mata yang tajam tersayat.
            Apa yang harus aku lakukan? Sempat aku bertanya. Namun hanya hampa yang kulihat dari paras kisutnya. Matanya menatap lamat-lamat dan menyergapku diam-diam. Namun begitu sengat kurasakan apa yang sedang di rasakannya. Lalu retina yang mulai memutih itupun bergesar menatap datar lukisan senja pemberian suaminya 30 tahun yang lalu.
            Bukan sesaat wanita itu diam. Berkali-kali, setiap waktu air matanya bergilir membasahi pipinya.
            Iya aku merindukannya. Saat dahulu, ketika keluarga ini begitu lengkap menyemangati hari-hariku. Andai saja duka itu tak pernah terjadi. Sungguh sulit ku patahkan segala ingatan curam itu.  Begitu menerkam hingga ke urat otak dan nadiku.
            Waktu itu. Tepatnya setahun yang lalu. Lelaki tua yang sedang menyemprot kebun depan rumah sedang mendengarkaan musik nostalgia. Pingganya begitu lenggak-lenggok ketika syair lama itu terdengar ditelinganya.
            Biasanya lelaki yang kusapa kakekku itu. Kadang-kadang tak mendengar suaraku memanggilnya. Namun bila hobinya sudah menjadi aktivitasnya, bisa terdengar olehnya biarpun suara lagu itu tidak dekat berjarak darinya.
            “Sudah tua masih saja sok muda.” Ucap nenek.
            “Eh ngak apakan biar awet muda.” Jawab kakek dengan senyuman tipis.
            “Apa!! jadi mau main-main sama aku ya.” Muka nenek merah.
            “Ayo main sini disko lagu nostalgia.” Tangannya diulurkan kepada nenek.”Hehe sayang jangan marah dulu. Aku ini mau buat istriku senang. Makanya biar aku awet muda.” Mata kekek berkedip-kedip menatap nenek.
            “Jadi jangan prasangka dulu, ntar dosa.” Jari telunjuk kakek mencubit kecil ke hidung nenek.
            Suara musik masih terdengar fasih ditelingaku, yang sedang membaca koran di ayunan dekat taman. Namun bacaanku pun jadi terhenti lantaran mendengar kakek dan nenek sedari tadi. Akupun menghampiri mereka berdua seraya berlari-lari kecil.
            “Nah itu Azhari datang. Ayo sini cucuku yang guanteng.” Ajak kakek.
            “Ah aku jugalah.” Potong nenek lembut.
            Nenek dan aku menikmati nuansa pagi yang cerah itu. Dengan lantunan musik nostalgia era delapan puluhan.
            Air yang keluar dari kran dengan pipa panjang pun telah membuat kakek, semakin asyik untuk digerakannya ke kanan dan ke kiri.
            Setelah setengah jam kami menghabiskan waktu di taman ini. Kakek pun pergi ke ladang di belakang, dan tak beberapa jauh dari tempat kami. Seperti biasa, seusai shalat duha. Kakek mempersiapkan sepeda ontelnya dan topi khas koboi untuk menemaninya ke ladang. Topi itu pemberian kakek buyutku dulu.
Yang dipakai dari generasi hingga turun temurun untuk menutup kepala ketika matahari begitu menyengat kepala. Kata kakek topi itu memiliki makna yang tak mampu di lisankan dengan lugas. Hanya saja bila nanti aku menikah dan punya suami atau anak laki-laki. Topi itu akan diberikan dan pemakainya akan tahu sendiri dari makna topi itu.
            Hemm entahlah. Bila aku terus bertanya tentang itu. Akan membuatnya menjadi balik bertanya kapan aku akan menikah. Lain di tanya lain di jawab. Terkadang aku kalah dengan kakekku yang begitu pintar dalam mengalihkan pembicaraan.
            Tempat hasil panen kakek di ladang. Merupakan hasil pencariannya untuk menafkahi aku, nenek, dan ibuku. Memang tidak terlalu banyak uang yang ditukar dengan bahan rempah-rempah. Tapi buahnya, sayur-sayuran, dan cabai yang merah berkilau. Sangat cukup untu memenuhi hidangan makan pagi, siang, dan malam.
            Yang penting katanya bersyukur, dan tetap semangat.
            Selain itu juga ada kolam ikan. Namun, bisa juga mancing ikan di sungai. Ikannya besar-besar dan segar. Apalagi bila hawanya dingin seperti pagi dan sore.
            Di sana begitu nyaman. Selain ladang. Ada kebun-kebun buah. Disampingnya ada sungai mengalir lincah dan bening pula airnya. Batu-batu besar terlihat kesan ku pandang. Disana juga ada pondok. Bila anak-anak muda setelah pulang sekolah. Mereka tidak langsung ke rumah. Mereka mengganti pakaian ditempat khusus dekat air sungai. Lalu shalat dan makan siang.
            Setelahnya membantu orang tua untuk bercocok tanam. Bila aku bosan dirumah. Nenek sering mengajakku main ke ladang, dan berdiam diri menikmati panorama alam disungai dan menutup mata duduk di batu-batu itu.
            Lamunan ku terpecah ketika suara mobil masuk  ke perkarangan rumah. Kaca jendela pun tertutup tiba-tiba karena tanganku tidak sengaja menyenggol penadah jendela.
            Nenek pun masih bengong menatap dinding dihadapannya. Maka aku pun keluar untuk melihat tamu yang baru datang itu.
            “Ayah.” akupun terkejut ternyata lelaki berjas hitam dan menaiki mobil mewah itu adalah ayahku.
            Aku bertemu dengannya tepat 5 bulan yang lalu. Setelah meninggalnya Ibu.
            “Azhari.” Dia menyebut namaku dengan tatapan matanya yang sayu.
            “Maaf saya tidak kenal.” Aku begitu sakit hati dengannya.
            “Apa kamu ngak sudi melihat Ayahmu ini.”
            Akupun melihatnya dengan hati yang luluh. Hingga  air matakupun turun tiba-tiba. Perasaanku bercampur aduk dengan frasa-frasa nasihat Ibu saat aku menemui orang yang telah menyakitiku “ Sabar tak mampu dikalahkan oleh apapun didunia ini.” Bukan hanya aku tapi semuanya. Kataku dalam hati.
            “Masuklah.” Lidahku masih sulit memanggilnya Ayah.
            Lelaki itupun duduk di sofa yang mulai lusuh. Nenek masih saja duduk membisu disana.
            “Coba lihat nenek disana.” pintaku pada Ayah.
            Ketika wajahnya menoleh melihat nenek. Maka pikiranku kembali bersua pada masa lalu. Kepalaku menunduk dan akupun menutup mata.
***
            “Azhari ayo kita ketempat kakek antar rantang ini.”
            “Udah biar Azhari aja nek.”
            “Eh ngak boleh kita berdua aja ya.”
            “Ngak apa nek. Nenek kelihatannya kurang sehat. Setelah disko-disko sama kekek tadi hihi.”
            “Eh kan biar awet muda.”
            Kamipun tertawa bersama mengingat aktivitas tadi pagi.
            Akupun pergi sendiri saat itu. Nenek kulihat tersenyum ceria saat aku berjalan menuju ladang.
            Sepanjang perjalanan beberapa tetangga menyapa ramah. Teman sekolah juga melambaikan tangannya. Mereka semua begitu hangat dalam hidupku. Selama belasan tahun aku hidup disini berdua dengan nenek sangatlah tenang. Biarpun awalnya aku merasakan sedih mendalam saat Ibu merantau ke negri Jiran Malaysia untuk menjadi TKI disana.
            Namun, ditengah jalan. Aku lihat kakek sedang berbicara dengan seorang lelaki yang tak kukenal. Wajah kakek terlihat sedih dan badannya tertunduk menatap tanah dan seonggok sayuran yang ingin di angkat ke sepeda ontelnya.
            Aku begitu penasaran dengan lelaki itu. Entah siapa dia. Setelah lelaki itu pergi tiba-tiba kakek jatuh tersungkur. Aku tak tinggal diam dan langsung menghampirinya. Sampai rantang nasi jatuh dan lauknya berhamburan.
            “Kakek.” Jawabku terbata.
            Lelaki itupun menolehkan tubuhnya.
            “Kau Azhari.” Matanya berkaca-kaca menatapku.
            “Kau siapa apa yang kau buat pada kakekku.”
            Lelaki itu hanya diam.
            “Aku ayahmu.”
            “Apa kau ayahku.” Jantungku berdegup kencang. Pikiranku melayang kemana-mana.
            Aku tak begitu peduli dengannya. Biarpun mata kami terasa menyatu namun apa pedulinya bagiku. Aku begitu ingat surat terakhir yang kutemukan di tas ibu tujuh tahun lalu. Tentang surat sakit hati dari lelaki itu, bahwa dia akan menikah dengan wanita pengusaha kaya di kota. Lalu menceraikan Ibuku dengan cuma-cuma.
            Sejak surat itu kutemukan bibirkupun ku kunci rapat. Untuk tidak menanyakan kembali di mana ayahku.
 ***
            Setelah kejadian itu. kakekupun di opaname beberapa hari. Namun Allah berkehendak lain. Kakek menghembuskan nafas terakhirnya di saat matahari tenggelam pada hari jumat.
            Dan penyebab itu adalah ayahku, walaupun ku usahakan untuk membiaskannya bahwa kematian itu takdir. Saat itu Ayah menemui kakek dan memberikan kabar, bahwa ibu menjual diri di kota besar. Bukan bekerja di Malaysia. Sehingga kabar memalukan itupun membuat kakek lemas hingga sakit jantungnya kambuh dan menutup mata.
            “Coba lihat wanita itu. Sudah banyak cobaan yang diterimanya, dan itu tidak lain karena perbuatan siapa.?” Tanyaku dengan nada lirih. Dan air matakupun tumpah. Membuncah terpecah dengan kalbu yang terkoyak
            “Bila saja lelaki yang saat ini dihadapanku tidak mengatakan tentang ibuku tentu semuanya takkan terjadi.” Mataku menatap datar dan perih mulai merambah ke bola mataku.
            Suasana semakin mencekam hingga ke relung batinku. Sedangkan lelaki itu masih menatapku dengan pandangan lumpuh tertera dan wajahnya sebuah penyesalan.
            “Dan tahukah. Ibu meninggal bunuh diri ketika mendengar kakek meninggal. Akibat kabar burukmu itu. Astagfirullah.” Akupun menutup wajahku. Lalu aku membukanya kembali dan berdiri. “Selama belasan tahun aku hidup yatim, dan ibu menjadi janda miskin tanpa kepedulian seorang suami yang melepaskan tanggungjawabnya. Apakah sekarang tega mengambilku dan menjauhkan ku dari nenek yang sedang dilanda kepedihan. Aku tahu engkau sengaja datang karena istrimu gagal memiliki keturunan laki-laki. Makanya kau mau mengambilku. TIDAK BISA. CUKUP. Aku takkan meninggalkan nenek yang sudah merawatku. Biarkan aku disini. Dan kau ayahku sudah aku maafkan. Sekarang aku tak mau semakin memendam 

(Cerpen ini lulus dalam Antologi Bersama di Penerbit Jejak Publisher)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar