Jumat, 14 Desember 2018

Kisah Inspiratif Pendidikan


MELANGKAH
Oleh: Damayanti


            Heningan malam itu memecahkan kalbu, diantara kenangan yang tak bisa dilupakan. Kenangan pada saat dulu ketika saat-saat harapan hampir musnah. Kisah seorang pemuda yang memiliki masa menyedihkan saat dulu, dan kini pemuda itu  akan melaksanakan acara wisuda untuk mencapai gelar doktor di salah satu Universitas di Inggris. Selama bertahun-tahun lelaki bernama Marwan melewati lika-liku perjuangan yang sangat menghimpitkan nasibnya, namun berakhir dengan kebahagiaan yang tak pernah terbayangkan. Berawal dari mimpi buruk yang sangat memilukan, bahkan hampir kehilangan hidupnya. Menambah beban dalam batin yang semakin terguncang kuat.
            Memang malam takkan selalu gelap. Terkadang bintang dan bulan akan menerawang gemilang untuk menyinari kegulitaan. Begitupun tuhan menetapkan hidup hamba-Nya. Takkan selamanya mendapat keterpurukan sepanjang hayatnya.
            Pemuda cerdik yang menggunakan kaca minus dimatanya. Mempertahankan apapun dengan rasa sykur yang telah tuhan berikan, begitupun ketika dulu dirinya dalam hidup kemiskinan. Tetapi setitik asa pernah berjuang dalam dirinya. Ialah dapat bertahan demi memahat kokoh amanah sang Ibunda. Ialah harus kuat menahan ombak, biarpun sejengkal lagi menghadang.
            Jangan pernah mengira orang pinggiran dan penyakitan tak mampu mencapai angkasa. Bukannya Yusuf sang utusan Allah telah mendapat kebahagiaan setelah beberapa kali nyawanya kerap terancam terbunuh. Setelah beberapa kali mengalami kehidupan pelik. Tetapi berakhir dengan kejayaan atas kesabaran dan ikhlas yang tertanam di hati nabi Yusuf. Maka tidak mungkin bila itu tidak terjadi pada lelaki yang papa, dan berpenyakitan bernama Marwan. Putra perempuan miskin, yang mengais rezeki dengan menyapu jalan.
***
              “Marwansyah.” Seorang dokter spesialis jantung memanggil.
                 “Bagaimana dengan kondisinya dok. Saya Ibunya.” Ungkap perempuan senja itu.
                 “Oh begini buk. Anak Ibu di fonis kena paru-paru basah.Perempuan itu secara spontan kaget dan kakinya bergetar lemas. Jantungnya berdetang kencang, retinanya mulai memerah. Belum lagi malam yang mencukur keheningan, menggetarkaan perutnya yang sedari pagi belum menikmati sesuap nasi sedikitpun.
                 Dimatanya hanya tatapan kosong, bibir peluhnya memutih pasi apalagi kata-kata yang tak sanggup terucap. Ibu mana yang tidak terluka bila anak semata wayangnya sakit dan menderita. Belum lagi kepergian suami yang tak kembali saat melaut.
                 Oh...batinnya terkuak hebat. Tatapan kosong seketika membulir setetes air mata. Kini nestapa kembali merasuk.
                 “Ya Allah, ujianmu sungguh.” Nada lirihnyapun terhenti. Karena ketidaksanggupan mengucap kata lagi.
                 Perempuan itupun masuk kesebuah kamar yang berfasilitas kelas BPJS. Sambil menggengam surat berisi resep obat yang akan diambil ke apotik. Belaian tangan Ibu begitu terasa di rambut Marwan. Hingga ia terbangun karena air mata ibu yang jatuh di jidatnya.
                 “Ibu kenapa”? Tanya remaja yang berumur 16 tahun itu.
                 “Kamu masih mau sekolah nak?” Ibu bertanya dengan tatapan kasihan pada anak semata wayangnya itu.
                 “Pasti Marwan sakit parah dan butuh biaya, ya buk”
                 “Yang sabar nak.” Tangisanpun terjadi diantara dua insan yang dilanda lara.
                 Tiba-tiba seorang suster tiba sambil menunjukan kamar Marwan pada seseorang. Terlihatlah Mirza, Taufik, Ali mengunjungi Marwan. Para sahabat itu tak pernah saling berpisah dan selalu menyatu apalagi bila salah satunya sedang dalam kesusahan
                 Awalnya Marwan memutuskan berhenti sekolah setelah mengetahui kondisi yang semakin parah. Tetapi karena dukungan sahabatnya Marwanpun kembali sekolah untuk menyelesaikan dua tahun setengah lagi. Walaupun sesungguhnya mustahil baginya bila nanti meneruskan pendidikan tinggi. Bukan alasan tak ada uang, kalau itu bisa mendapatkan beasiswa yang ditawarkan oleh pihak sekolah padanya.  Tetapi kondisinya tak mungkin panjang lagi, menipiskan untuk dapat melangkah lebih maju.
                 “Hei Marwan kita ini seperjuagan, ingatlah Allah itu ngak tidur jadi tidak mungkin membiarkanmu menangis. Pasti Allah akan memberikan jalan keluar. Ingat tiada kesulitan bila tidak ada kemudahan.” Kata Taufik.
                 “Nah... benar tu.” Sahut Ali.
                 “Ayolah sobat,  jangan menyerah.” Semangat terlontar dari Mirza.
                 Keempat sahabat itupun sepakat untuk tetap sama-sama menjemput Marwan dengan sepeda setiap pagi dan mengantar pulang ketika sekolah. Semua itu dilakukan mereka  Karena tubuhnya Marwan yang lemah  tak mampu berjalan. Terlebih jalan yang jaraknya menempuh satu jam, menuju sekolah. Dengan kesetiaan persahabatan yang di lakukan mereka begitu mengeratkan hubungan silahturahmi yang baik.
***
            SMA adalah masa paling indah kata orang-orang. Dan bukan berarti berkelakuan bebas dan berfoya-foya.  Kisah keempat sahabat ini, menggambarkan cara meraih prestasi di masa muda, walaupun dalam keadaan apa adanya. Biarpun mereka hidup penuh kemiskinan dan yatim. Apalagi Ali yang orangtuanya meninggal diterjang ombak tsunami 2004 silam. Hingga iapun dibawa oleh pamannya lalu di telantarkan di pulau Jawa. Hidup memang nafsi bahkan saudara sendiri yang tega dengan keponakannya yang tak berkeluarga lagi.
            Biarpun hidup dilimbubuhi deretan ujian. Namun keyakinan adalah kepastian untuk bisa. Maka tak jarang bila para sahabat  itu sering meraih juara pada kompetisi umum bahkan tingkat nasional.
            Saat 2008, diadakanannya perlombaan olimpiade matematika. Sehingga diberangkatkanlah walaupun saat itu Ali tidak ikut karena baru masuk sekolah. Setelah Manjaad Wajadda menjadi misi mereka. Serta doa yang tak terlupakan selalu terpanjatkan. Maka  mereka membawa hasil dengan Juara dua. Begitu sangat membanggakan karena mengharumkan nama sekolah hingga tingkat nasional.
            “Apalah arti hidup ini. Bila bukan karena-Nya.” Ungkap Ali. Dan lainnya mengangguk. Sesekali meledek “ Hahaha kita memang beruntung punya sahabt ustazd Teuku Ali”  Kata Mirza, sambil memukul pundak Ali
            Dan lainnya sama-sama ikut  tertawa. Untung saja pemuda hitam manis berambut lurus itu tak kecil hatinya. Malah tertawa bahkan meng-Aminkan, agar kata-kata Ustazd yang dilontarkan oleh sahabatnya itu terkabulkan. Sambil tersenyum.
            Ketika hujan deras membanjiri halaman sekolah, terlihat gadis bernama Maira di pojok kelas duduk membaca buku. Bila gadis lain sibuk menggosip, tetapi Maira gadis berlesung pipit itu tak suka dengan hal-hal yang membuang waktu.
            Dari sedikit jarak jauh Marwan duduk sambil menatap lama sang gadis manis yang fokus dengan bukunya. Sejak semester satu pandangan pertama tak pernah berpindah hanya menyatu pada Maira.
            Tetapi mustahil lelaki papa dan penyakitan itu memiliki seorang anak Kepala Sekolah, yang cantik, cerdas, dan hafizah pula orangnya. Terkadang dia merenung hidup sehat aja alhamdulillah bila mimpi sejagat manalah bisa. Tangannya saja masih bergetar menyentuh buku tebal. Apalagi mengangkat besi untuk bekerja menghidupi sang bidadari ialah Maira. Mana mungkin.
            “Ah biarlah dia menjadi cintaku dalam diam.” Ungkap Marwan dalam hati.
            Tiba-tiba jantungnya berdetak kencang, dan nafasnya perlahan-lahan sesak hingga tak terkendali. Hingga Mairapun melihat Marwan lalu mengahampirinya dengan sedikit tergesa-gesa. Mairapun meminta tolong pada temannya hingga ketiga sahabat lainnya pun mengangkat Marwan.
            Marwan dilarikan kerumah sakit saat hujan masih menerjang lebat. Pihak sekolah memanggil angkutan yang tertutup agar siswanya tidak basah. Perjalanan yang ditempuh sangat jauh jaraknya dari rumah sakit. Belum lagi kemacetan karena hujan.
            “Ya Allah Wan. Kuat ya ingat lo tahun depan kita Ujian Nasional. Kau kuat kok.” Ucap Taufik dan beberapa diantara mereka menangis salah satunya Ali.
            “Ya Allah di hujan rahmatmu ini bantulah saudaraku angkatlah penyakitnya. Panjangkan umurnya. Kasihanilah ia dan Ibunya.”
            Mirzapun menyahut “ya Allah tolonglah sahabat kami, sayang Ibunya yang tinggal sendiri”
            Butiran hujan menetes di kaca jendela angkot. Airmata Mairapun tak terasa menetes ketika memberitahukan kondisi Marwan pada Ibunya. “Bu yang sabar ya”. Lirih gadis itu.
            Merekapun pergi untuk melihat Marwan yang dirawat di Rumah Sakit
***
            “Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.” Kata itu tertera dalam Al-Quran surat Yusuf ayat 12. Ayat itupun terjadi nyata pada Marwan ketika beberapa hari seusai paska kejadian. Maka di hujan yang penuh rahmat-Nya mendatangkan himah yang luar biasa.
            Ketika Marwan di rawat satu hari. Ada seorang anak kecil berumur dua tahun tersesat di jalan raya. Anak lelaki itu terpisah dari orangtuanya pada saat kemacetan. Lalu ditemukan Ibu Marwan dan dibawa agar anak itu tidak sendirian dan kehujanan. Hingga seminggu kemudian berita kehilangan itu terdengar dikoran dan media sosial. Setelah mendengar berita itu, Ibu Marwan langsung menghubungi pihak media. Hingga akhirnya orangtuanyapun menemui anak mereka dengan tangisan, karena sebelumnya dilanda penuh kekhawatiran takut kehilangan.
            Ketika mendengar cerita sang Ibu atas kondisi Marwan yang tak lekas sembuh.  Orangtua anak itu mengambil langkah segera menolongnya. Ketidakmampuan tidak memiliki dana membuat Marwan  tak dapat operasi. Hingga Allahpun menunjukkan keajaibannya melalui tangan oarangtua sang anak yang mempunyai pertambangan besar di Indonesia.
            Maka Marwanpun dioperasi dan melakukan terapi beberapa bulan hingga Allahpun mengangkat penyakitnya dan bisa beraktivitas dengan lancar. Satu tahunpun berlalu, setelah pengumuman kelulusan sekolah. Marwan dan keempat sahabatnya lulus di universitas negeri. Namun berbeda dengan Ali yang lulus di Kairo mesir. Disana Ali kuliah di program studi ilmu tafsir sambil  berjualan baju milik guru agama Pak Muhibuddin.
            Beberapa tahun kemudian keempat sahabat itu bertemu kembali. Khusunya pada saat wisuda Marwan di Inggris. Ditemani Maira gadis impiannya saat bangku SMA. Maira mengenggam tangan suaminya sambil menggendong anak ke dua mereka. Dihadapan khalayak ramai Ibu yang menjadi sejarah pada masa hidupnya tak pernah menjadi akhir dari pintu ataupun menutup atas keberhasilan Marwan.
            Kenangan saat sekolah dulu menjadi momen tak terlupakan. Karena dibalik kemiskinan dan penyakit yang mengancam Marwan. Membuatnya bangkit terlebih didukung oleh orang sekitarnya. Siapa sangka gelar Profesor dan doktor menjadi nama barunya. Maka itulah tak ada yang tahu bila Allah mengangkat derajat manusia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar